Sabtu, 24 Januari 2009

2005

BIAS DARI KARANGGUDHE:
Reflleksi Peran Serta Jedor `Karyo Wantah` Merespon Lingkungan
(mengubah blumbangan menjadi Pasar Krempyeng)

"Pemanfaatan sebuah blumbangan agar bernilai sosial-ekonomi, merupakan
satu upaya yang pernah dirintis sekelompok orang di Dukuh Karanggudhe, Desa Sobontoro,
Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jatim.
Dipastikan, upaya itu bukan didasari oleh pembelaan terhadap lingkungan hidup dekat mereka tinggal.
Komunitas Jedor `Karyo Wantah`, yang puluhan tahun pernah hidup di medan berawa ini,

tidak mengenal UURI No.4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Upaya mereka itu juga tidak diatasnamakan sebagai
`perjuangan menuntut hak atas lingkungan yang baik dan sehat` .
Sedangkan kewajiban berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup,
dilakoni begitu saja antara lain ketika mereka ikut beramai-ramai kerja bakti massal, jedoran, jaranan,
sambatan mendirikan rumah tetangga, `wajib mbecek` saat yang lain berhajat, mengunjungi yang sakit,
melayat yang meninggal,
atau sekedar memberikan wul bagi biaya Agustusan."



Jedor Karyo, 1994 - 1995
Hingga masa pendudukan Jepang berakhir di Indonesia, Sobontoro masih termasuk daerah
pertanian dengan aneka hasil bumi cukup melimpah. Bukan saja padi dan palawija,
kelapa pun dipanen. Konon, kesejahteraan desa salah satunya tampak
dari puncak-puncak pohon kelapanya.

Sebagian besar wilayah desa yang tidak lebih dari 2 Km arah selatan Pusat Pemerintah
Kabupaten Tulungagung, Jatim ini, pernah berubah total menjadi medan berawa termasuk Karanggudhe.

Tidak saja Sobontoro, desa-desa lain sewilayah Tulungagung utamanya yang sering dilanda banjir musim penghujan, waktu itu, hampir sama keadaannya: berawa.

Tulungagung `bebas banjir` tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, di Karanggudhe berdiri
Paguyuban Seni Jedor `Karyo Wantah` (kemudian lebih dikenal sebagai Jedor Karyo).
Tidak semua warga Jedor Karyo – kini tinggal 12 orang, memiliki kesadaran bahwa
paguyuban seni mereka itu berposisi sebagai pintu masuk (entry point) bagi pemecahan
atas persoalan kehidupan nyata sehari-hari yang menguasai. Meski demikian belajar mengenali masalah, merumuskan, bertukar pikiran bagi pemecahan masalah, selalu berlangsung saat istirahat-sementara nuthuk jedor.

Akumulasi dari kemauan untuk survival lewat memanfaatkan semua isi kandungan medan rawa, dulu,
dengan segala perubahan yang ada serta dirasai kini, adalah pengalaman nyata yang mudah digali
bagi `dialog` atas lingkungan hidup yang mereka hadapi. Meski `dialog` jauh dari kritis cenderung
naratif-romantis setidaknya berbekal pengetahuan alamiah, mereka terus belajar bersama
menanggapi tantangan-tantangan lingkungan dekat mereka tinggal.

*
Dua kali cangkulan kedalaman tanah berpasir, dimaklumi sebagai sisa endapan rawa bertahun-tahun.
Sawah desa di timur Karanggudhe pecah-pecah pada musim kemarau, “Kelak habis dimakan perumahan,” mereka memperkirakan. Air saluran pengatus di bagian utara mbludag tiap musim penghujan,
disimpulkan: dasar buk (jembatan – yang oleh warga sekitar dikenal sebagai Buk Dhuwur) terlalu tinggi, menghalangi kelancaran arus. Nyamuk, bau busuk, sampah menumpuk pada lubang buk, semua yang muncul berikutnya itu
diatasi lewat kerja bakti sebelum musim penghujan tiba. Sedangkan aneka ikan lokal termasuk
belut selengan bayi – yang dulu melimpah, ludes ditangkapi baik dengan strum, putas, atau lainnya tanpa dibiakkan.

“Kawan-kawan pencari ikan itu juga butuh makan,” komentar mereka.

Mereka menceritakan bahwa tiap menjelang senja, kerimbunan bambu ori diputihkan ribuan bangau.
Sedangkan belibis, jowan, aneka jalak, branjangan, manyar, kepodang, dekuku, perkutut, kacer,
kutilang, pipit, gelatik, kruwok, pitikan, sikatan, minus burung gereja, “Berani bersarang dekat rumah.
Rumah gedhek srotong rong empyak. Bila rawa pasang, perahu masuk rumah lewat ampik-ampik bolong. Yang limas tembok hanya rumah guru Barsi (almarhum).”
Sambil menunjuk-nunjuk, “Dulu di situ bambu ori. Sana. Sana: tempat gandarwa,” demikian
warga Jedor Karyo mudah berganti-ganti topik pembicaraan. Jangankan membiakkan,
menanam pohon kelapa orang tak sanggup. “Begitu bibit tumbuh, cepat atau lambat bakal
mati lanas disergap kwangwung,” tambah mereka. Hingga kini, mayoritas warga
Dukuh Karanggudhe bahkan Desa Sobontoro,
tak mau menanam bibit kelapa.

Produk pedagang kecil Karanggudhe seperti: nasi pecel, tahu lontong, getuk, ketela-jagung rebus,
ireng-ireng, cepura, sompil, samplok, gempol, kicak, cenil, lopis, gatot-tiwul, peyek aneka kacang,
wedang ronde, wedang kopi, jamu empon-empon, sayur kangkung, semua itu sebagian besar masih
dijajakan; di rumah, berkeliling, mangkal di pasar kota (Pasar Wage) atau di depan terminal bus
maupun di tempat tertentu lainnya. Berbagai bantuan pemberdayaan ekonomi masyarakat, waktu itu,
hancur oleh penerima pengguna. “Ya, biar. Wong untuk makan. Perbaiki rumah,” mereka berujar.

Mustahil coba berbuat (action) konkret atas semua tantangan kehidupan yang ada waktu itu.
Karenanya, mereka lebih banyak berkata-kata, tertawa-tawa. Kata-kata saja memang tak berdaya ubah.
Meski begitu, mereka tampaknya dapat menikmati `dialog` sela jedoran sebagai cermin kebutuhan guyub. Sebuah kebutuhan yang
terpelihara justru ketika tanah dikuasai rawa, dulu.
*

Karanggudhe, 1994
Sepuluh tahun lepas dari kungkungan rawa, memperlihatkan fenomena persaingan yang
diam-diam menajam atau ditajamkan oleh perbedaan perolehan kebutuhan dasar hayati di antara warganya. Kebutuhan-kebutuhan yang tak mungkin dijangkau ketika hidup di medan berawa, kini mendesak-desak isi tempurung kepala menembusi hati mereka. Penerangan listrik, sepeda motor, tv berwarna, rumah tembok berlantai porselen dengan jendela berkaca, mebelair dari toko kota, aqua, VCD, kulkas,
makanan minuman instan, peralatan dapur berlistrik mulai diincar. Pagar hidup beluntas sudah
dipandang tak pantas. Seni tradisi Jaranan Jowo, Reog, tenggelam kalah populer dibanding
Jaranan Sentherewe bermusik dangdut plus goyangan bokong diseling gending-gending campursari.
Semua itu mengabaikan kebutuhan pendidikan termasuk pendidikan anak-anak,
kesehatan, kualitas makanan, maupun pola kerja.

Sejarah manusia sebenarnya merupakan sejarah tanggapan manusia terhadap
tantangan-tatangan lingkungan, baik itu berupa lingkungan biofisik, lingkungan binaan,
maupun lingkungan sosio-politik (Kaligis. dkk, 1994/1995). Tanggapan ini beragam dengan respon
berbeda-beda. Menghadapi fenomena perubahan lingkungan Karanggudhe pascarawa,
warga Jedor Karyo tak mampu berbuat apa. Mereka hanya mampu merasai seperti tercermin
dari kata-kata mereka. Misalnya, “Nyambut gawe saya angel. Penyakit rena-rena.”
Kemudian disambar gelak tawa yang lain, “Matiya ae!” Sejak itu jika berpapasan antarteman
entah sambil mengayuh becak di jalanan kota, di sawah saat menyabit rumput,
selalu ada yang berteriak tertawa keras, “Matiya ae!” Hingga kini warga Jedor Karyo itu masih hidup.
*

Agustus 1995
Jedor Karyo mengusung pentas panggung dengan tajuk Buk Mampet (BM).
Keberadaan saluran pengatus bagian utara – yang mbludag tiap musim penghujan,
dipresentasikan melalui monolog, dialog lugas para pelaku pentasan. Dalam bulan dan tahun yang sama,
Orang-orang Banjiran (OB) dipentaskan di Taman Budaya Solo (TBS) lewat fasilitasi Moelyono, seniman Tulungagung lulusan ASRI – ISI Jogya, 1985. OB berupa sketsa kehidupan Karanggudhe
menjelang-pada saat-sesudah digenang rawa.

Beberapa bulan setelah BM dipentaskan, pihak Pemda Tulungagung memperbaiki saluran pengatus utara Karanggudhe. Meski dasar buk belum diubah ketinggiannya, perbaikan itu sempat menimbulkan `heboh`. Masyarakat menganggap bahwa perbaikan terjadi akibat BM dipentaskan Jedor Karyo.
Anggapan yang salah itu justru menumbuhkan percaya diri warga Jedor Karyo dalam
berinteraksi dengan fakta keseharian yang melingkungi lewat praksis seni paguyuban mereka.

Sementara itu rekonstruksi sepenggal kehidupan yang dipresentasi lewat OB di TBS,
menguati pengetahuan alami mereka bahwa `apa-apa di sekitar mereka itu berubah`.
Café marak di mana-mana. Bola sodok disertai perempuan-perempuan bercelana ketat.
Jaranan campursari laris dilengkapi kerusuhan penonton. “Aja terus sak bathok ngorok (jangan terus
tidur begitu mendapat hasil kerja – yang sedikit (sak bathok: sebelahan tempurung kelapa).
Alame wis owah gingsir,” satu saat ketika istirahat nuthuk jedor. Yang lain berteriak
melihat bintang jatuh. Berkas sinarnya membuat terang sekejab di langit sana.
Istirahat – yang sementara tadi, dicabut. Alunan musik jedor merambahi malam manakala
Karanggudhe pulas.
*

Karanggudhe, 1996 – 1999: Merintis Pasar Krempyeng
Fakta di negara-negara Dunia Ketiga, perencana dan pembangun pasar yang sebenarnya
adalah rakyat jelata (Mc Auslan, 1986). Mereka merintis, membangun pasar di mana saja ada
kemungkinan melakukan kegiatan ekonomi: entah di atas tanah `yang tidak dipakai`,
pada tepi-tepi jalan raya, di daerah perbukitan bahkan di atas rawa-rawa. Pembangunan pasar
semacam itu sungguh merupakan cara `yang liar` memunggungi peraturan yang ada dan kesehatan,
mengabaikan rencana induk (master plan) buatan para perencana tataruang pemukiman,
juga bisa melanggar UU No.4/1982.

Sering terjadi pembangunan pasar oleh rakyat jelata tanpa rencana ke depan dan tidak
terkontrol tetapi seringkali justru memenuhi kebutuhan nyata mereka. Keadaan yang demikian itu
bukan tanpa konsekuensi, antara lain: mereka tidak mengetahui apakah akan digusur atau tidak
oleh karenanya mereka tidak melakukan penataan, perbaikan, hingga lingkungan berkembang
serampangan. Jika bangunan mereka dibongkar, dipindahkan, keributan yang tidak manusiawi pun
tidak jarang berlangsung.

Tidak saja Ketua jedor Karyo, Muyata – yang sejak kecil ikut simboknya berjualan sayur-mayur
di pasar dekat kota, mayoritas warga Jedor Karyo – tanpa claim diri, memiliki pengetahuan
tentang siapa perintis pasar yang sesungguhnya itu. Tentu saja, pasar-pasar yang berlokasi dekat
mereka tinggal. Peristiwa pembongkaran, pemindahan pasar yang terjadi di Kabupaten
Tulungagung pun tidak jarang menjadi bahan `dialog` saat sela-istirahat nuthuk jedor.


Blumbangan dekat Karanggudhe dipilih untuk dirintis menjadi Pasar Krempyeng.
Hingga tahun 2002, tanah kas desa bekas SD Sobontoro itu tidak difungsikan. Warga Jedor Karyo
merespon sebagai tanah `yang tidak dipakai`. “Eman-eman. Orang membuang sampah di situ,” kata mereka. Pasar Krempyeng di lokasi blumbangan (26 m X 21.30 m) diperkirakan kelak akan rejo.
Letak yang di tepi jalan, beberapa usaha yang telah ada (warung, toko, pracangan, bingkil sepeda)
dekat lokasi, dianggap mendukung fungsi pasar. Sedangkan Pasar Krempyeng, diketahui mereka
sebagai pasar yang cocok bagi pedagang kecil Karanggudhe dengan makanan-minuman khas
produk keseharian yang telah lama digeluti.

Pasar Gratis Karanggudhe (PGK) Agustus 1996
Respon, perkiraan, anggapan maupun pengetahuan terkait dengan harapan adanya
Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan, tak lain wujud perenungan mereka terhadap
dinamika lingkungan Karanggudhe yang dilihat, dirasai, maupun dihadapi. PGK Agustus 1996
yang digelar, adalah ekspresi perenungan bentuk praksis berkesenian dari proses `dialog`
saat-saat istirahat-sementara nuthuk jedor. `Dialog` sela itu memang jauh dari kritis
cenderung naratif-romantis tetapi tak jarang merepresentasikan realitas sekitar yang mereka hadapi.

PGK Agustus 1996, diharapkan berfungsi menjadi media inspiratif bagi berdirinya
Pasar Krempyeng, sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan.
Melalui media PGK Agustus 1996, lokasi bekas blumbangan yang dipilih diharapkan
menjadi perbincangan banyak orang. Mereka berusaha agar para pedagang kecil Karanggudhe berkumpul, berbincang-bincang mengenai berbagai kemungkinan jika kelak berjualan di Pasar Krempyeng. Pendeknya dengan PGK Agustus 1996, warga Jedor Karyo berupaya dapat menjaring aspirasi bagi perencanaan pembangunan pasar di lokasi bekas blumbangan.

Sepuluh pedagang kecil Karanggudhe masing-masing dibantu Rp 5.000,00 bagi pembuatan
makanan-minuman lokal yang biasa mereka jajakan sehari-hari. Bantuan itu berasal dari pihak
Jedor Karyo yang diperoleh dari kumpulan uang hasil melayani jedoran ketika orang berhajat: tingkepan,
bayen, pitonan, khitanan, maupun orang melepas nadar. Di samping itu, Jedor Karyo menyiapi dimar sewu berminyak tanah dengan jarak tertentu pada tepi kanan kiri jalan umum sebelah utara Karanggudhe.
Di bawah tiang-tiang bambu bentuk T tempat dimar sewu, pedagang kecil tadi mangkal.
Mereka `menjajakan` produk khasnya secara gratis bagi warga Karanggudhe.

Ambin pelupuh, beragam meja dan lincak maupun perlengkapan lain diurus sendiri oleh para
pedagang kecil beserta sanak keluarga mereka. Para istri dan anak warga Jedor Karyo `berjualan`
di gubuk-gubuk daun tebu kering (welit). Jerami-jerami bekas panen padi tanam pertama, diuntai
sebagai umbul-umbul menjulang di sela Merah Putih yang terikat pada batang tebu.

PGK II Agustus 1997
PGK II – Agustus 1997, digelar atas permintaan masyarakat. Makanan dan minuman gratis melimpah.
Tidak saja produk khas pedagang kecil Karanggudhe, aneka roti, bakso, buah-buahan, jagung bakar,
krupuk bersambal hadir di sini. Semua itu dari kesukarelaan masyarakat termasuk teknik
penyelenggaraan: dari-oleh-dan untuk masyarakat, kecuali dimar sewu. Jedor Karyo menyiapi dimar sewu dengan jumlah yang berlipat-lipat sejumlah `pedagang` yang hadir. Untung dimar sewu bekas
PGK Agustus 1996 yang disimpan, masih dapat difungsikan.

Tidak beda dengan PGK pertama, yang kedua itu pun tidak memenuhi harapan atas fungsi
digelarnya PGK. Suasana gempar mewarnai Agustusan yang dipadati massa. Deretan sumbu dimar sewu mengatasi kegelapan akibat kerumunan `pembeli`. Mereka tidak mengantri, berdesakan, dorong-mendorong, menjerit tertawa berebut makanan-minuman gratis ditingkahi alunan musik Jedor Karyo. Ketika istirahat-sementara nuthuk, saat `pembeli` hilir mudik sambil makan minum, beberapa orang
tersenyum-senyum menyalami individu Jedor Karyo. Seorang nenek mendekat, “Le, jajane entek resik.
Kowe jedoran ra keduman. Suk ae dibaleni, ya!” Semua tampak gembira hanyut tenggelam
dalam kegemparan yang baru berlangsung. Tak ada perkelahian, tak terjadi kecelakaan. Dalam PGK II juga yang pertama, aspirasi apa pun tak diperoleh!

1998
Sobontoro yang berada dalam Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, merupakan
salah satu desa di antara 13 desa sekecamatan (seluruhnya 17 desa) yang diwarnai aksi unjuk rasa.
Sebagian besar penduduk desa ini menentang kebijakan kades terkait tukar guling tanah kas desa.
Tanah berupa areal persawahan produktif itu sedang diproses untuk dijadikan perumahan
mengabaikan aspirasi, partisipasi masyarakat – seperti yang ditunjukkan dalam P3MD,
Mendagri (1996) – pegangan LKMD era itu. PGK III – Agustus 1988, tidak digelar.
Warga Jedor Karyo dan mayoritas warga Karanggudhe bergabung dengan kawan-kawan
sedesa yang menuntut kembali keberadaan tanah yang akan ditukar pada beberapa tempat
jauh di luar desa, dan tidak jelas utamanya bagi kepentingan siapa. Usai unjuk rasa yang
berlangsung hampir 3 bulan lebih, Kades Sobontoro dinonaktifkan SK Bupati Tulungagung
dan tanah kas desa tidak jadi ditukar guling hingga kini.

Menggunakan `patok waktu` tahun 1984 direntang ke belakang dan ke depan hingga tahun 1998,
kehidupan warga Jedor Karyo berada dalam dua lingkungan. Pertama, lingkungan kehidupan
medan berawa. Kedua, lingkungan kehidupan pascarawa. Yang kedua disertai aktivitas berikut ini.

1. Mendirikan Paguyuban Seni Jedor Karyo Wantah (1994);
2. Mementaskan BM dan OB di TBS, Jateng (1995);
3. Menggelar PGK I (1996);
4. Dua warga Jedor Karyo mengikuti Temu Tani di sebuah desa pertengahan

Purwodadi – Kudus,
Jateng, tempat petani Komunitas Sikep yang bertani tanpa pupuk pabrik (1996);
5. Menggelar PGK II (1997);
6. Dua warga Jedor Karyo mengikuti Temu Karya Petani, LSM dan Pusat Kajian

PHT Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, IPB (1997; dan
7. Pentasan di Gedung Dekopinda Tulungagung atas undangan para mahasiswa

STAIN
Tulungagung yang tergabung dalam PMII Cabang Tulungagung

(liputan pentasan dapat dibaca dalam Surya Minggu, 24 Agustus 1997).

Kedua lingkungan yang dialami adalah teks. Sedangkan aktivitas-aktivitas penyerta

(sekurang-kurangnya 1 – 7 di atas) adalah konteks kehidupan pascarawa.
Teks berpadu dengan konteks lokal baik itu konteks kehidupan semasa medan berawa maupun pascarawa, itulah `wacana`. Sebuah wacana kehidupan
yang darinya dapat menjelaskan mengapa warga Jedor Karyo – yang berasal dari kalangan tukang becak, tukang-kuli bangunan, pedagang kecil (pracangan), buruh tani, dan buruh serabutan, mereaksi kebijakan tukar guling tanah kas desa serta berharap akan berdirinya

Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan. Reaksi maupun harapan itu tak lain sebagai tantangan yang menghadang atas lingkungan hidup Karanggudhe,
lingkungan dekat mereka tinggal.

Meski wacana itu mengabaikan konteks global semisal kondisi ekonomi, sosial politik pada masa-masa itu, setidaknya wacana kehidupan tadi merupakan kristalisasi kehidupan warga Jedor Karyo yang kemudian teraktualisasi sebagai upaya menangani lingkungan hidup di Karanggudhe.

Warga Jedor Karyo tak akan pernah mengatakan wacana apa pun. Mereka tak akan pernah
berkata kapitalisme liberal, dehumanisasi terkait dengan eksploitasi lingkungan hidup Karanggudhe, misalnya. Predikat World Music yang pernah dikenakan pada musik tradisi `jedor pakem`, diterima dengan terkekeh-kekeh sebagai wul (urunan sukarela) musik. Meskipun demikian, warga jedor dapat merasai fenomena, “Nyambut gawe saya angel.” Dan merespon, “Aja sebathok ngorok. Alame wis owah gingsir!” Atau dengan, “Matiya ae!” Lalu blumbangan - satu monumen fisik kehidupan medan berawa, masih menganga.
Kedalaman mulutnya disumpali belukar perdu, sampah, bau dan lalat. Yo, kerja bakti!

Agustus 1999
E, Sapa Ngerti
(ESN) dipentaskan. PGK atas permintaan masyarakat, digelar lagi bersamaan dengan pementasan ESN. Lewat ESN dengan bahasa lugas dan bersahaja, diungkap pentingnya Pasar
Krempyeng bagi para pedagang kecil Karanggudhe. Republika Senin, 30 Agustus 1999 dengan
tajuk Ketika Seniman Jedor Berharap Pasar, memunculkan tulisan antara lain,
“Pemda belum dengar,” katanya. Mungkin Pemda budeg (tuli – red),” kata penonton lainnya.

Dampak pementasan: seorang warga jedor didatangi aparat
Kecamatan Boyolangu bersama PJS Kades Sobontoro (Carik Desa). Aparat tadi meminta
naskah ESN yang memang tidak dibuat kecuali sinopsis yang dapat ditunjukkan.
Dalam pementasan para pemain ESN maupun penonton, memang tak pernah berteriak
seperti tulisan wartawan Republika terbitan tsb. di atas. Aparat kecamatan tadi, sama sekali
tidak mencoba menampung, lalu memberi harapan `akan ditangani` dan disalurkannya aspirasi
yang ada bila memang aspiratif. Mungkin, memang bukan untuk itu ia datang bertugas.

Masih dalam tahun 1999, warga Jedor Karyo melakukan field research sederhana bagi pengumpulan data. Penduduk seputar blumbangan dimintai pendapat, usul, saran bagi bahan penyusunan proposal.
Kepanitiaan pun dibentuk. Ketua RW 04, semua Ketua RT lingkup RW 04, tentara, mantan pegawai
agraria, pemborong bangunan, tukang kuli bangunan, warga Jedor Karyo, masuk dalam kepanitiaan
rencana pembangunan Pasar Krempyeng. Proposal yang sudah dibuat, dibahas berulang-ulang dalam kepanitiaan. Setelah disepakati bersama, proposal akan diajukan ke Bupati, Ketua DPRD, lewat Camat Boyolangu sepengetahuan PJS Kades Sobontoro.
*

Karanggudhe, 2000 – 2004:
Pasar Dibangun
Tahun 2001 kades hasil Pilkades Sobontoro dilantik. Proposal pun dibahas ulang bersama
kades terpilih. Melalui P2MPD, pihak Pemda pada tahun 2002 mulai menguruk blumbangan.
Di desa-desa lain wilayah Tulungagung juga sedang dibangun pasar-pasar desa. Pasar di lokasi bekas blumbangan selesai dibangun tahun 2003. Jumlah los pasar 3 unit, masing-masing membujur sejajar. Dengan bentuk srotong, beratap genting, entah melalui proposal warga atau tidak

Bias
… yang penting adalah partisipasi dalam perencanaan, yaitu memanfaatkan daya kreatif mayoritas masyarakat untuk mengembangkan lingkungan mereka sendiri, sejauh memungkinkan pada tempat-tempat yang telah mereka pilih. Itu berarti … Demikian bagian kecil yang mengawali proposal.
Bagi warga Jedor Karyo, melakukan penelitian lapangan meski sederhana, mengumpulkan data, melakukan koordinasi dengan individu lain maupun pihak perangkat desa, dalam konteks membuat perencanaan bersama dengan memanfaatkan daya kreatif mayoritas masyarakat sekitar, sungguh pekerjaan yang tidak ringan. Menghadapi pemenuhan kebutuhan seharian, sudah merupakan persoalan berat bagi mereka.

Bagi warga Jedor Karyo, utamanya tidak sekedar ikut merencanakan tetapi juga
melaksanakan pembangunan pasar. Dengan sepenuhnya berperan diri secara sukarela,
mereka akan berupaya terus-menerus hingga Pasar Krempyeng berfungsi bagi pedagang kecil
Karanggudhe dan sekitarnya. Yang demikian itu tidak terjadi.

Mungkin mereka cegeh. Sejak blumbangan diuruk, mereka sama sekali tidak dilibatkan. Bentuk bangunan pasar tidak sesuai dengan harapan mereka. Dalam proposal, bentuk

bangunan lebih sederhana sebab diperuntukkan bagi jenis Pasar Krempyeng yang dianggap
lebih cocok bagi pedagang kecil Karanggudhe dan sekitarnya sambil menunggu
perkembangan fungsi pasar secara lebih lanjut.

Bagi mereka, yang penting blumbangan diuruk dan dipondasi bentuk U

menghadap jalan di depannya.
Mereka tak mampu menanggung beban tanah uruk dan pembuatan pondasi.

Meski demikian, hingga beberapa bulan sejak bangunan proyek pasar jadi, mereka sukarela
mengumpulkan orang-orang yang bermaksud berjualan di pasar bekas blumbangan tadi.
Lewat musyawarah berulang-ulang termasuk bermusyawarah di lokasi `pasar baru`, los-los dibagi. Mereka juga berkeliling ledhang dengan menyewa Chevrolet agar masyarakat makin
mengetahui bila di bekas blumbangan – dulu bekas SD Sobontoro, telah ada yang berjualan.

Pasar telah dibangun 2 tahun yang lalu. Fungsi pasar belum juga optimal.

Bias makin tampak oleh adanya desas-desus jual beli lokasi. Warga Jedor Karyo
tidak mampu menangani apa pun.
Mereka hanya menyampaikan `berita` tadi kepada pihak perangkat desa dengan harapan segera ditangani.
(Sobontoro, 2005)

Selasa, 06 Januari 2009

BELAJAR MENULIS ARTIKEL (2)

Jonet yang Inspiratif: Refleksi Pengalaman Pembelajaran Sastra
Oleh Lik Ni

“Gambar kartun itu inspiratif. Ia, bisa memberi inspirasi
pada pembelajaran menulis puisi bebas.”


Gambar kartun Jawa Pos mayoritas sederhana. Bertajuk Senyum itu Sehat gambar-gambar itu tampak asal-asalan, seperti sekenanya dibuat. Isi, mengikuti nama tajuk: hal-hal lucu (humor) yang tidak susah dipahami. Yang lucu dikemas beragam, misal dalam peristiwa tak diduga (surprise), tak lazim terjadi, irasional, yang dianggap remeh, dan lain-lain. Kartun-kartun tadi cukup kontekstual, bermakna karena akrab dengan tema-tema dunia nyata.

Meski humor kelihatan remeh dan bersifat santai, ia memiliki fungsi penting. Fungsi utama humor penghibur hati karena dapat menyalurkan ketegangan batin (Danandjaja, 2005). Dari penelitian kita tahu, bahwa humor dapat meningkatkan kesehatan secara fisik dan mental (Halim Putra, 2002). Sementara itu, kartunis bukan sekedar tukang gambar. Ia bagian dari team research. Di Australia kartun merupakan kajian budaya (http://etnografi.net/?p=21). Ternyata, modal kartunis bukan kemampuan menggambar saja. Lebih dari itu, sangat diperlukan pemahaman mendalam tentang kebudayaan.

Jonet
Jonet, satu kartun humor Jawa Pos (Selasa, 6 November 2007), bisa difungsikan sebagai media pembelajaran menulis puisi bebas. Selain sederhana-lucu-mudah dipahami-tematik (tentang bencana alam)-menghibur-bermuatan budaya (kebiasaan santai), ia efektif melahirkan karya baru: puisi bebas. Ini berarti, Jonet inspiratif bagi proses penciptaan puisi bebas.

Satu tahapan proses penciptaan bisa dilalui: menemukan apa isi Jonet. Pertanyaan pemandu dijawab dulu. Mengapa? Pertanyaan pemandu, tak lain dari pertanyaan yang difokuskan mengetahui apa isi Jonet. Bila jawaban atas pertanyaan pemandu dirangkum, rangkuman itulah isi Jonet. Pertanyaan pemandu – sebagai teknik bertanya yang dipilih guru, adalah upaya menggiring siswa menemukan sendiri (teknik inkuiri) isi kartun humor karya Arafat di atas.

Isi cerita Jonet - yang ditulis dalam bentuk prosa, diubah menjadi puisi bebas. Caranya, prosa dipadatkan, kata-kata dipilih (diksi), persamaan bunyi (rima) dan gaya bahasa dibuat, baris-baris atau bait ditentukan. Semua itu, rentetan proses belajar siswa agar bisa mencapai salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra: mampu menulis puisi bebas.

Mari kita lihat karyaYongki Zulkarnaen IX B, 20072008 berikut ini.

KELUD AKAN MELETUS (prosa)
Hari Minggu sekitar jam 15.00, di desa Tegal Makmur diinformasikan BMG bahwa gunung Kelud akan segera meletus. Oleh pamong desa seluruh warga disuruh mengungsi ke penampungan. Mereka semua repot membawa harta benda. Pak Sabar dan kerbau sedih. Pak Saleh dan kambing kesal cemberut. Mbah Darmo tidak begitu. Bersama Mico bebeknya, ia ke penampungan dengan santai sambil merokok.

KISAH SEDIH (puisi bebas: hasil mengubah prosa)
Sendiri larut dalam lamunan
Rasa belas kasih, saudara-saudaraku dilanda ketegangan
Gunung Kelud berdiri akan semburkan lava lukai isi bumi
Mengapa harus terjadi, kasihanilah mereka dilanda sedih harus mengungsi
membawa sejuta luka di hati, harta benda agar tidak menjadi korban
kuatkanlah hatimu percayalah
Setiap penyakit pasti ada obatnya!

Sedikit Bahagia
Meskipun belum disunting, cenderung prosa karena sekedar menyusun ke bawah laiknya baris-bait puisi, dan jauh dari kerumunan teori formal sastra; puisi bebas Yongki itu fenomena berpikir aplikatif. Ini, tingkatan ke tiga dalam domain kemampuan berpikir (kognitif): pengetahuan>pemahaman>aplikasi>analisis>sintesis>evaluasi (Bloom,1997). Sebatas aplikatif, bagi siswa SMP sudah lumayan. Baris terakhir `Setiap penyakit pasti ada obatnya!` cermin kemampuanYongki mengaplikasikan data hasil mengamati Jonet.

Kelas kocak, sebentar tertawa sebentar serius. Guru, tak musti mbayol bila ingin siswa enjoy belajar menguasai kompetensi. Itu berlangsung saat siswa memberi nama pelaku dan seting imajinatif semisal Sabar, Saleh, Darmo, Mico bebek, dan Tegal Makmur. Semua itu tak ada dalam gambar kartun Jonet. Dari sini, siswa belajar membuat hubungan (asosiasi) sekaligus berimajinasi. Kelud bereaksi diasosiasikan dengan penyakit. Tegal Makmur image lahan subur, melahirkan Kisah Sedih (judul puisi) bila Kelud lukai isi bumi. Asosiasi, imajinasi itu bagian dari proses kreatif penciptaan karya sastra.

Musim tak menentu, bencana silih berganti penyakit, antri kayak inlander, langka pupuk jadi langganan, krisis finasial lalu korupsi: memberi inspirasi apa? Guru, bisa sedikit bahagia berkat Jonet sang gambar kartun karya Yunus Arafat, yang inspiratif.

BELAJAR MENULIS ARTIKEL (1)


daun jatuh di blog ini dipunguti lembar demi lembar
dirangkai dengan fakta, pengalaman, berbumbu referen
diolah menjadi artikel tema pendidikan setara 2 page (3.000-3.500 karakter)
ternyata, nggak gampang: lik ni pun balik ke ladang mengadu pada lumpur dan katak



Model Kecil: Perahu Kurang Asem *)

Seekor Kuda Putih, satu cerpen William Saroyan misalnya, menunjukkan dasar yang jelas akan kepercayaannya bahwa manusia pada dasarnya bersih. Penulis dari Amerika ini (1908-1981) mengagumi mereka yang miskin, yang dipermainkan nasib tetapi tetap tabah, jujur, dan bersih hati (Depdiknas, 2006). Guru, bisa memandang siswa sebagai manusia-manusia bersih, seperti yang dipercaya penulis kelahiran Fresno, California itu.”

`Calon-calon wartawan, petani penggarap unggul, Obama Kecil, ibu ayah, cagur naik bajaj`, dan calon-calon lain – tak ada calon teroris atau koruptor, masih bersemangat belajar di teras mushalla sekolah. Ruang kelas mereka diperbaiki. Perahu Kurang Asem, produk kelompok kecil (Johan Purnomo-Nurkafi-Yusron Ghozid Dunya), tercipta di `pengungsian` itu.

Dalam konteks pembelajaran menulis petunjuk melakukan sesuatu dengan urutan yang tepat dan menggunakan bahasa efektif tapel Bahasa Indonesia, siswa kelas VIII 2008/2009, ditugasi membuat sendiri produk berupa benda pakai dari bahan bekas. Tiap tahapan proses pembuatan dicatat. Produk, diposisikan sebagai pintu masuk (entry point) bagi pencapaian kompetensi dasar (KD). Sambil membuat produk, siswa menulis apa saja urutan yang dilakukan mulai hingga berakhir pembuatan produk. Tulisan mereka itu, tak lain dari petunjuk melakukan sesuatu, satu KD yang harus dikuasai dalam pembelajaran menulis.

Teknik rangsang kegiatan – membuat produk, diharapkan memudahkan siswa bisa menulis petunjuk, sejalan dengan prinsip-prinsip pembelajaran: dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dekat ke yang jauh, konkret ke yang abstrak. Teras mushalla berubah pasar kadang seperti bengkel sepeda.

Perahu Kurang Asem
Kurang dari 2X45 menit, Petunjuk karya kelompok Purnomo diserahkan seperti berikut ini.
PERAHU KURANG ASEM
Bahan: 3 kertas yang diperoleh dari teman
Cara membuat: cukup sederhana, hanya melipat 3 kertas dari buku bekas menyerupai kapal but. Tempelkan kertas warna ditemukan di bawah karpet (terserah warna yang diinginkan). Dan terakhir, tumpuk ketiga kapal tersebut dengan castol yang diminta dari teman dan daun dari taman depan kelas.
Spesifikasi: untuk tempat abu rokok, untuk mainan anak-anak kecil, dapat mengapung di air
Mengapa disebut Perahu Kurang Asem?
Karena, daun yang ada di atas kapal bila dirasakan kurang asem dan ada bekas premen (kurang asem) yang ditempelkan. (disalin seperti adanya)

Model Kecil
Semasa jaya Gajah Mada, Empu Nala mencipta sendiri perahu, kapal-kapal besar. Nenek moyang kita pun mengarungi berbagai belahan dunia. Gelombang utara: laut Jawa, laut Cina Selatan ditaklukkan. Bahkan, ke Madagaskar menembusi Samudra Indonesia memasuki kehidupan global. Purnomo-Nurkafi-Ghozid Dunya bukan Empu Nala. Tetapi, Petunjuk Cara Membuat PKA otentik cipta karya mereka sendiri: meski belum disunting lewat presentasi, belum sesuai dengan rubrik penilaian pembelajaran. Ketiganya bangga mendapat pujian guru.

Bangga bisa mencipta sendiri Petunjuk Cara Membuat PKA, pada gilirannya bisa mendorong terciptanya karya-karya lain: produk-produk berguna bagi sesama, tak hanya Kozuii berinfra merah melainkan kapal-kapal besar Empu Nala ikon Majapahit berjaya. Dari situlah kita akan mendapatkan harga diri, kreativitas, dan kehormatan bangsa.

Kelompok Johan tabah, ke sana sini mencari bahan meminjam peralatan. Innocent alias bersih tak berdosa cocok bagi mereka. Tiga kertas diperoleh dari teman, kertas warna ditemukan di bawah karpet, castol diminta dari teman atau daun dari taman depan kelas. Semua itu tak lain ekspresi kejujuran, kebersihan hati. Bila membiasa - membudaya, mereka bisa tumbuh tanpa mencaplok bukan haknya. Korupsi akan susah meraja lela.

Siswa menyontek, merayapi situs porno, curi HP, tawuran, masih `bersih hati` asal guru peka apa akar persoalan yang benar-benar benar. Akar persoalan justru luput. Dari sini, penekanan terhadap siswa bermula, dalam pengertian luas termasuk kekerasan dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru, siapa saja yang lebih dewasa, dapat memandang kelompok Johan dan PKA mereka, sebagai model kecil yang bisa dicontoh: kebersihan hati anak.

Lewat cara pandang seperti itu, dalam pembelajaran guru akan bisa melihat Quantum, interaksi yang mengubah energi siswa menjadi cahaya, tumbuh menjadi manusia manusiawi, keduanya: murid yang guru – guru yang murid dalam dialog kritis (Freire,1972). Whualah anak-anak itu, “Horison yang selalu biru bagiku,” ungkap Hartoyo Andang Jaya dalam Dari Guru kepada Murid-muridnya, puisi karyanya.
*) Setelah singgah di daun jatuh, bersama artikel (2) - `Jonet yang Inspiratif: Refleksi Pengalaman Pembelajaran Sastra`, dikirim ke artikelguru@yahoo.co.id : Program Untukmu Guru 2009, Lomba Artikel Guru, Jawa Pos.

Sabtu, 20 Desember 2008

Tiga: MENENGOK JEDOR SOBONTORO




FILOSOFI MBAH RI *)

Sederhananya, ilmu pengetahuan itu bertujuan mencari kebenaran yang benar-benar benar, betul-betul betul secara akal (rasio): bukan menurut perasaan apalagi selera. Kebenaran menurut akal itu nggak bisa mutlak, tidak seratus persen benar (benar-benar benar). Capaian kebenarannya sebatas mendekati (probality). Plato, Aristoteles misalnya, adalah pemikir-pemikir ulung. Mereka itu filsuf, ahli filsafat yang mengembangkan akal menggali kebenaran, pada zamannya. Kebenaran menurut akal yang mereka kembangkan itu disebut filsafat ilmu (ilmu pengetahuan).


Filsafat, dari phylos yang berarti cinta, dan shopia yang bermakna kebijaksanaan. Gampangnya, ilmu pengetahuan itu mencintai yang benar-benar – bukan sekedar benar, menurut akal manusia.

“Takada janji tepat kecuali janji matahari untuk terbit pagi hari,” adalah satu contoh kata-kata produk filsuf, lazim dikenal dengan kata-kata mutiara. Pernyataan tsb. benar-benar benar, betul-betul betul. Mentari, sekali pun nggak pernah ingkar janji. Ia pasti terbit pagi hari. Tak bakal mbangkong kayak bangsa kodok. Pasti, meski mega mendung menutupi, walaupun hujan kelewat deras, sang surya tak bakal bohong terbit, kecuali kiamat.


Ada contoh lain.
“Halus sikap Tuhan, tetapi tidak memendam kebencian,” Albert Einstein.
“Gunakan cahaya dalam dirimu, untuk meraih pandangan alamimu yang jernih,” Lao Tzu.


Satu lagi.
Ontong bisa kempes,” Muyoto.
Muyoto (56), warga Sobontoro, itu presiden Karyo Wantah (KW). KW, tak lain dari salah satu paguyuban kesenian jedor yang ada di Sobontoro, generasi ke sekian. Lik Ni, sejak awal KW berdiri (1994) mendampingi klub kesenian tradisional yang berbasis pembelajaran nonformal itu. Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan di Karanggudhe, Sobontoro, berdiri tak lepas dari rintisan kawan-kawan yang tergabung dalam KW.


Ontong, bunga bakal buah pisang. Bisa kempes. Jadi, ia gagal capai cita-cita menjadi buah pisang,” presiden KW tadi mengurai saat kami istirahat belajar nuthuk jedor. Masiih menurut Kang Muyoto,“Kita bangsa manusia ini jangan kemlinthi. Bisa kempes seperti ontong. Terhadap sesama apalagi terhadapTuhan, kita jangan sombong.” Mari, kita belajar tiada henti biar tak kempes. Kita manusia bukan ontong. Barangkali, itulah pesan Kang Muyoto. Bangsa manusia dibandingkan dengan bangsa ontong: benar-benar benar?

Master
Mbah Ri (Kuseri, 70) lain lagi. Beliau ini petani. Petani penggarap bukan petani berdasi. Habis disunat, bersama Sadeli (71) ikut Mbah Sodjo (almarhum) ke mana pun jedor diundang orang berhajat. Jedoran keliling bulan pun, Kuseri-Sadeli pasti numpang. Dulu, saat Sobontoro berawa, Kuseri muda hanya duduk mendekati pengendang jedor dalam jedoran yang diketuai Mbah Sodjo. Mata Kuseri tak mau lepas dari ulah tangan kanan kiri pengendang. Kupingnya, bergerak-gerak menyimak lantunan syair jedor. Semangatnya, adalah detak jantung belia yang bergairah. Tampaknya, Kuseri meneliti. Lama-lama, ia diajari memainkan gendang jedor bila jedor Mbah Sodjo nuthuk di kombong dhewek manakala sepi orderan. Kini, Mbah Ri menjadi master gendang jedor tiada tanding, setidaknya di Sobontoro.


Mbah Ri Bukan Filsuf
Mbah Ri bukan filsuf apalagi Muyoto. Jelas, Kuseri tidak mengerti apa itu filsafat: induk segala macam ilmu pengetahuan yang kini berkembang pesat: pecah-pecah spesifik menjadi beragam spesialisasi ilmu pengetahuan canggih. Tentang bunyi jedor laiknya filsuf, Mbah Ri - panglima gendang jedor tadi, mengurai sebagai berikut.


“Tipung lanang berkulit lembu. Tipung wadon berkulit kambing. Kulit lembu lebih kuat daripada kulit kambing karena lebih tebal. Jadi tipung lanang itu lelaki, yang lebih kuat. Sedangkan tipung wadon adalah perempuan. Bunyi tipung lanang kan lebih rosa (nyaring) dibanding bunyi tipung wadon. Itulah suami istri.”

Malam itu memang lagi istirahat nuthuk (membunyikan) jedor. Sebelas kawan generasi penerus (Muyoto, dkk.) sedang belajar memainkan musik jedor. Muyoto memainkan gendang. Suparno belajar nuthuk kempyang. Paidi belajar ndhalang sambil memainkan terbang, Surani belajar menjadi bek, Muryadi memukul jedor. Sugianto dan Mugiono masing-masing belajar nuthuk tipung lanang dan wadon. Yang lain belajar sauran. Semua kader – individu KW itu, dibina Tim Sukses LIER (Sadeli-Kuseri).
Jedor LIER yang diketuai Sadeli, dijamin bisa membuat orang liyer-liyer, mengantuk nyaman karena buaian semilir angin. LIER, unggul suara dalam kancah perjedoran, dulu sebelum Mbah Li pelo dan Mbah Ri sakit-sakitan. Liyer-liyer seperti kartun Romo Koko, kartunis pemerhati masalah sosial (htpp: //www.romokoko.com).


Sepasang `suami-istri` dilanjut Mbah Ri. Tak berdaya, Muyoto, dkk. singlu (sunyi, terkesan menakutkan) menyimak.

“Ya, suami istri. Itu mula kehidupan. Agar hidup damai tenteram, maka di-kempyang-i (diubyuki: didukung, diramaikan, diguyubi). Oleh karena itu, setelah bunyi tipung lanang dua kali dan satu kali bunyi tipung wadon, segera disusul bunyi kempyang. Di-kemyang-i biar suami istri akur (accord) kadya mimi lan mintuna, kayak Tom and Jerry, Mendut-Pronocitro, kalong dan buah gempol yang pohonnya banyak tumbuh di Sobontoro, bekas medan berawa. Tidak saja di-kempyang-i, juga di-terbang-i supaya rumah tangga laju bak bus Patas (Cepat Terbatas). Semua itu diiringi, digiring menuju penaking urip bebrayan oleh gendang. Akhirnya, barulah diklik Yes oleh jedor: diamini, agar Gusti Pangeran, Allah SWT, mengabulkan bisa beranak pinak sluman-slumun-slamet ndonya ngakerat.”

Harmonisasi
Entah acuan (referen) mana digunakan Kuseri menelusuri keenam perangkat jedor (tipung lanang dan wadon, kempyang, terbang, gendang, dan jedor) simbolis dinamika kehidupan sepasang suami istri. Boleh jadi, hal itu bermula dari rerenungan tetua jedor pendahulu, disampaikan lisan kepadanya: dari mulut ke mulut (dari mulut ke telinga, kan) ketika budaya baca tulis masih langka.


Yang jelas, yang dikemukakan Kuseri tak lain dari harmonisasi bunyi seluruh perangkat musik jedor. Keenam perangkat akan memperdengarkan pesona musik ritmis jedor, padu dengan syair yang dilantunkan bilamana dibunyikan benar-benar benar: sesuai dengan tetua pendahulu memainkan musik jedor. Faktanya, baik Mbah Li maupun Mbah Ri tak pernah mengatakan harmonisasi apa pun, hingga kini.

Istirahat dicabut. Dicermati Kang Paidi, Mbah Li mulai melantunkan syair jedor berikutnya, “Gendhung awal-awal. Maole gendhung yola awalake, yola. Yola gendhung lamun sinandhung ….” Bintang-bintang masih kemerdip meski dicerai kelam. Angin musim kemarau ringan mengangkuti kelembaban udara. Malam menyelimuti warga Sobontoro yang pulas maupun jaga, dalam buaian pesona jedor.
……………………………….........................
*) oleh lik ni, yang di tepi, desember 2008)

Jumat, 19 Desember 2008

Dua: MENENGOK JEDOR SOBONTORO


Menengok Jedor Sobontoro

Kita menjenguk nenek-kakek di desa. Meski sebentar - tak lama karena kita harus pulang melanjutkan pekerjaan, bukan berarti cinta kita luntur terhadap nenek-kakek. Tanpa beliau-beliau itu, kita tak bisa menjenguk siapa pun. Menengok Jedor Sobontoro bisa diartikan mengetahui, melihat lebih dekat jedor Sobontoro. Sekilas, sebentar atau tak lama seperti kita menyambangi nenek-kakek di desa, kali itu.

Bila lebih jauh, mendalam, kita harus meneliti lebih intensif. Hal itu kita lakukan misalnya bila bertanya, "Mengapa jedor Sobontoro masih berkumandang hingga kini. Sampai kapan sebelum akhirnya punah," dalam konteks pelestarian budaya di Kabupaten Tulungagung, Jatim.

Tulisan ini, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Secara berseri, ia bukan hasil penelitian yang mendalam seperti skripsi apalagi tesis. Memang, Menengok Jedor Sobontoro, Tulungagung, Jatim, disusun dari hasil penelitian. Namun, penelitiannya sederhana, menggunakan ragam penelitian lapangan, populer. Bahan sebatas kesan-kesan dan catatan pengalaman harian. Transkrip yang ada (tidak pulang ke Daun Jatuh ini), adalah satu-satunya sumber tertulis yang bisa diperoleh. Wawancara dalam upaya pengumpulan data, sebatas percaya mengikuti penjelasan tetua jedor yang ada - yang dianggap mempunyai penguasaan atau dipandang berwenang (modus otorita) terhadap kesenian tradisional jedor di Sobontoro, Tulungagung, Jatim.

Tujuan, sebatas mencapai tujuan penelitian paling sederhana yaitu sekedar dapat mendeskripsikan sesuatu meliputi 1) penamaan, 2) klasifikasi, 3) tatakerja, pembuatan,dll. termasuk 4) fenomena yang bisa diketahui menyangkut Kesenian Tradisional jedor Sobontoro.
Bukan mencapai tujuan yang lebih dalam (esensial) seperti menjelaskan hubungan antarfenomena lebih-lebih hubungan kausal maupun meramalkan fenomena yang akan terjadi.





Rabu, 17 Desember 2008

Cerpen

LESUS DALAM WARUNG
Cerpen Beni Harjanto

Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus.

Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam,
siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya.


Bentangan langit pucat. Matahari sejak pagi disembunyikan mega-mega mendung. Jauh di belakang bubungan rumah-rumah jauh pada sela kerimbunan pokok pepohonan, kaki langit menghitam. Dari teras warung dekat hamparan sawah, kehitambiruan gunung mendominasi mata. Hujan rintik mulai menderas. Sami memarkir sepeda motor di teras warung itu bukan untuk berteduh melainkan makan pagi pada siang yang serupa pagi bahkan laiknya senja.


Lima orang membuat warung 3 X 3.5 meter itu terasa sesak. Yang bertelanjang dada sejenak berhenti menyuapi mulut ketika Sami masuk. Sami ditatapi, mengangguk lalu duduk.
“Sana angin, ya,” kata yang bertelanjang dada.
“Pohon sengon saya roboh, Pak. Dapur hampir kena,” balas Sami.
“Belum seberapa. Rumah-rumah hancur. Sana dekat kandang bus Dahlia.” Sami mengangguk-angguk. Lapar menguasai. Ia enggan menimpali apa atau mengatakan sesuatu yang lain.
“Ndak karuan. Bencana. Dulu disebut lesus, kan. Angin muter-muter itu, lho. Sekarang katanya puting beliung,” yang berkaos keabuan membuka mulut. Piring di depannya telah kosong.
“Tapi Amerika teliti. Di bawah lumpur Lapindo ada harta karun. Bakri itu orang terkaya di Indonesia,” kata yang berseragam kekuningan mungkin pegawai pemda atau perangkat desa. Sepatunya hitam mengkilat minus kaos kaki. Piring di depannya kosong. Botol-botol hijau kosong berdebu beberapa tak bertutup, toples kerupuk, juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik semua berbenturan satu sama lain di mata Sami. Ilusi Sami itu menegasi kemauannya untuk makin diam. Tidak saja di cakruk malam-malam ketika kawan-kawan di desanya ngobrol, di warung ini pun percakapan dengan mudah berganti-ganti topik tanpa konsekuensi apa pun.

“Pak Sam makan, ya?” muncul dari dapur Yu Dah bertanya. Sami tersenyum mengiyakan. Berbeda dengan senyum sebelumnya ketika sendiri sarapan di warung yang sama. Yu Dah tidak sesibuk hari ini. Perempuan paruh baya itu duduk di lincak seberang meja makan mengupasi bawang merah. Tak ada percakapan di antara keduanya. Tetapi entah mengapa, Sali dapat merasai bahwa makan kali itu tidak sekedar mengatasi lapar. Botol-botol kosong hijau berdebu menawarkan diri untuk diusapi. Toples menanti dibukai. Juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik minta didengarkan keriuknya: ya, saat itu.

“Ayoh!” yang bertelanjang dada berdiri diikuti dua yang lain. “Teruskan, semua. Kami akan mengukur tanah,” tambahnya ramah bersemangat. Ketiga orang itu ke luar warung. Langkah mereka panjang-panjang mantap bersama hujan yang berubah gerimis. Memandangi ketiganya, mata Sami terpaku pada gerbang sekolah di seberang jalan. Tampak Al, istri Sami, berjalan cepat-cepat menuju warung. Keduanya memang telah berjanji untuk bertemu di warung Yu Dah setelah Sami dari BRI di kota. Di teras warung sebentar saja keduanya bercakap-cakap. Sami menyerahkan uang pada Al. Sami diminta segera makan dan diberitahu agar ia tidak membayar karena uang Al masih ada pada Yu Dah. Al segera balik ke sekolah masih bersama gerimis, masih ditunggu para siswa di dalam kelas.

“He, dibonceng?!” (terlambat) Sami meneriaki istrinya dalam hujan bukan gerimis. Menengok sebentar Al melambai dan senyum, berlari ke sekolah yang tak jauh dari warung Yu Dah. Seperti ketiga orang yang akan mengukur tanah tadi, istri Sami tampak bersemangat siang itu, di bawah hujan. Di bawah segebok uang? Sami masuk warung membawa pikirannya. Nasi sudah tersedia di meja berteman kopi, bersama kelebat semangat istrinya, hari itu, di bawah hujan.

“Istri sampeyan guru di SMP itu, ya,” tanya yang berseragam seperti yang dikenakan istri Sami tadi.
“Ya,” jawab Sami menekuni nasi di piring.
“Mana rumah sampeyan?”
“Jembatan Tinggi. Pasar sapi ke timur lurus.”
“Pekerjaan sampeyan?” Tiba-tiba nasi Yu Dah menjadi rasa lain. Mengapa warung tidak sepi saja. Sesekali sepi pembeli sepi kata-kata di warung Yu Dah, bagi Sami meramaikan kemungkinan-kemungkinan dalam pikiran.
“Tidak tentu, Bapak,” Sami kaget mendengar kata-katanya sendiri.
“Bagaimana itu, ya. Mana mungkin tidak tentu. Istri sampeyan kan guru!”
“Buat baju-baju,” jawab Sami menenangkan diri.
“Wah gede, ya.”
“Tidak juga, Bapak.”
“Bagaimana menjualnya, di mana pasarnya? Siapa yang membawa?” Sami mengeluarkan 76 dan korek api dari saku celana, “Kretek, Bapak.” Ia berharap agar pertanyaan-pertanyaan lebih jauh tentang dirinya dihentikan. Yang berseragam cepat-cepat merogoh kantong celana sendiri, mengeluarkan Surya kemudian menyulut.
“Baju-baju apa saja?” di balik kepulan asap rokok yang berseragam itu tajam memandangi Sami. Yu Dah laiknya mesin fotokopi ulang-alik antara dapur dan warung. Lewat kotak lubang pada triplek penyekat dua ruang sempit dalam warung itu, sesekali mata Yu Dah menajami Sami.
“Bapak bekerja di mana?” Sami coba balik bertanya.
“Saya guru.”
“Wah kebetulan, Bapak.” Tiba-tiba Sami merindukan kesenangan yang sama sekali tak pernah dilakukan. Nunggang kuda misalnya, atau nangkring berlama-lama pada pokok pepohonan, atau berada di bak truk tua yang mengangkut muatan jauh menyeberangi selat tanpa diusir awak kendaraan itu …. Atau apa saja, asal yang sekali pun belum pernah dialami itu menyenangkan. Menggelandang bersama truk tua, jauh dan tolol dari perkara pernik-pernik kerumahtanggaan mendadak muncul sebagai pilihan serampangan Sami.
“Begini … istri saya itu, lho. Akhir-akhir ini petang baru pulang. Sering hingga malam di depan komputer, lalu menumpuk, membongkar mencari kertas-kertas. Segebok, tebal. Eh … tiga atau empat gebok, Bapak.”
“Itulah sertifikasi! Harus sekolah S1. Nanti lolos terima tunjangan profesi satu kali gaji. Memang begitu, harus sibuk,” tampaknya ceramah mulai mendaulat.
“Sertifikasi?”
“Tidak salah! Sampeyan harus mengerti. Istri sampeyan pasti sibuk.”
“Ia tak sempat memasak. Saya tidak makan di rumah, Bapak.”
“Begitulah akibatnya. Istri sampeyan itu menyiapkan administrasi. Kami berdua dapat bandeman lima puluh ribu dari teman yang sudah lolos. Ia baru terima empat juta lebih,” yang berkaos keabuan berbicara.
“Administrasi, Bapak?”
“Benar. Sampeyan tak paham. Kalau saya belum ikut. Nasib sajalah. Temanku yang lolos itu sebenarnya kalah bobot denganku. Dia itu tidak berani mengajar kelas VI. Saya yang mengajar. Ya sudah, nasib saja,” yang berseragam seperti masih ingin memuntahkan isi benak dan pedalaman hati. Kepala Sami berdenyut.

“Jadi peserta sertifikasi itu tidak gampang. Menemui orang-orang tertentu di atas. Main serobot hak orang. Pesan agar dibuatkan perlengkapan. Kalau dalam pekerjaan sampeyan itu dijahitkan namanya. Macam-macam caralah. Tak sedikit uang dikeluarkan peserta,” yang berkaos keabuan tertawa-tawa. Yang berseragam tertawa-tawa. Tak hanya geram dan pusing, Sami kaget. Klakson colt diesel memekakkan telinga tepat di depan warung Yu Dah. Dalam kabin pengemudinya tertawa, melambai-lambai. Hujan reda. Di luar warung yang berkaos keabuan dan yang berseragam masih tertawa-tawa. Tak berapa lama, deru motor mereka melemah jauh di barat di jalanan persawahan meninggalkan sisa tawa-tawa yang menyakitkan Sami. Kelengangan warung dikuasai hujan yang menderas lagi.
*
Selama ini Yu Dah tidak banyak berkata-kata bila Sami singgah di warungnya. Perempuan sintal itu hanya tersenyum kemudian menyodorkan nasi lalu kopi selanjutnya diam duduk menemani di seberang meja atau menyibukkan diri di dapur warung. Tentu, Yu Dah tersenyum jika Sami diketahui memandangi. Kali ini tidak begitu.

“Ditanyai baik-baik kok menipu. Pak Sam itu bagaimana. Dia tadi pak guru Bardi. Temannya juga guru. Pak Sam sendiri guru,” kata Yu Dah. Bak petasan cabai rawit, kata-katanya hanya meledak-ledak kecil dalam hujan yang makin menderas menjelang sore itu. Sami tahu Yu Dah tidak benar-benar marah.
“Saya katakan apa adanya nanti. Dengan sesama guru kok bohong,” Yu Dah menggoda. Mata memandang ke atas bersamaan dengan kepalanya yang bergoyang ritmis ke kiri kanan: lembut kayak gerak-gerik ASIMO, robot humanoid mirip manusia yang dikendalikan teknisi Honda asal Thailand.
“Sungguh. Tolong, Yu. Jangan ceritakan siapa aku kalau mereka ke sini lagi,” balas Sami menahan gejolak hati lama dipendam.
“Kapan-kapan, kuberitahu mengapa tadi berbohong,” gemetar Sami berdiri mengulurkan uang.

Tampaknya, Sami – juga Yu Dah, lupa pada pesan Al bahwa ia tak perlu membayar. Tangan menerima uang tak dilepaskan. Guruh menggelegar tak mampu memberikan peringatan apa pun justru menggoyahkan gejolak yang hendak dipadamkan. Lihat, butir-butir hujan mulai mendesahi bara di tungku dapur melalui genting yang rembes. Dari lubang tungku asap putih meliuk. Sekejab lenyap ke mana. Pucuk pepohonan berputar-putar mengikuti hempasan angin. Satu-satunya jalan di depan warung itu sunyi. Setan bermain-main dalam sepi.
“Yu ….”
“Ah … Pak ....”
“Yu ….”
“Pak … Paak ….”
“Uang … Bu Al, masih ada,” kata Yu Dah tersendat.
Mendengar nama istrinya, Sami tersentak. Ada kelebat istrinya dalam hujan, melambai dan tersenyum: Al yang selama ini percaya kepadanya, di mana atau kapan pun Sami berada.
Bara-bara menganga belum sempurna padam oleh tetesan dari atap dapur warung ketika kedua manusia yang berdiri itu tidak lagi saling merapatkan tubuh.
“Aku pulang!” Sami bergegas meninggalkan dapur warung. Yu Dah memburu hingga di pintu depan warung sambil membenahi kancing bajunya.
*
Sami memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Samirono. Sarjana pendidikan ini lolos sertifikasi guru gelombang pertama (2006) tanpa `menjahitkan`. Tanpa kebanggan meski tunjangan profesi dua juta sekian telah diambil dari BRI kemudian diterimakan istri di warung Yu Dah. Baginya sertifikasi guru harus utuh dalam pemahaman, objektif dalam proses maupun pelaksanaan. Sami marah entah karena ucapan Yu Dah tentang uang Al atau ucapan Bardi dan temannya mengenai sertifikasi guru.

Memasuki jembatan hujan tambah menderas. Meski tidak memandang ke bawah, tak urung mata Sami terbawa pada permukaan arus air di bawah papan geladak jembatan lebar 1.5 meter, keruh coklat menggelegak. Ia pacu lagi motornya yang menerbangkan dalam ayunan di atas permukaan air. Ia memahami betul seluk-beluk jalur ini. Tidak jarang Sami mengantar kadang menjemput Al. Jembatan gantung itu harus dilalui bila ingin lebih hemat waktu dan bensin.

Pada umur setengah abad, masih tampak keterampilannya mengendara. Hal itu terbukti kemudian ketika ia akan mengakhiri panjang jembatan. Tanpa mengurangi kecepatan, Sami menikung tajam ke kiri setelah sedikit mengambil haluan kanan. Roda depan masuk kubangan di pojok kiri luar jembatan. Sami muncul dari semburan air masih dalam kecepatan penuh, bersama jengkel, dan marah masih entah kepada siapa atau karena apa. Bercak lumpur melekati mika helm di balik mata. Celana pendek, kaos oblong masih meneteskan air hujan hingga ia berhenti di mulut gang menuju rumah. Hangatnya sisa air mata juga masih dirasai. Kemarahannya mulai terkendali begitu mengetahui kenyataan di depan mata.

Sami berlarian ke rumah-rumah tetangganya yang rata dengan tanah. Semua selamat. Mereka bergerombol lagi saling membisu setelah disalami Sami. Al meloncat turun dari boncengan sepeda motor temannya tepat pada saat Sami hendak berangkat menyusul. Ia segera memburu istrinya.

“Semua selamat!”
“Sana juga. Anak-anak dipulangkan. Sekolah nggak kena. Warung Yu Dah terbang. Mudah-mudahan ia pulang awal ….” kata Al terbata-bata. Suami istri itu kemudian mengitari rumah sendiri yang sudah tak beratap. Al tidak berkata apa pun. Sami merenung. Mereka diam. Hujan reda menyisakan kegaduhan lalu lalang orang-orang yang berdatangan dalam remang. Adzan Maghrib menggema.

Pagi hari koran lokal memuat puting beliung yang menyapu dua desa. Puluhan rumah porak-poranda, pohon-pohon besar bertumbangan, sebuah warung diterbangkan. Hingga kemarin, tulis berita itu, belum diketahui adanya korban jiwa. Beberapa warga sempat dilarikan ke RSUD kota karena luka ringan dan patah tulang.
Tidak seperti biasanya, dalam hard news tadi – yang sudah-sudah cenderung tersusun dari unsur 5 W + 1 H, kali ini setelah ekor berita ditambahkan, “Angin delapan penjuru memang telah mengamuki dua desa itu. Menerjang mungkin yang lolos maupun tidak lolos dalam sertifikasi guru. Siapa saja, lesus tahu, manusia sudah bertingkah sekedar mengikuti selera pedalaman hati masing-masing. Sebuah pedalaman aman tak tertembusi yang ternyata hanya berujung pada kepentingan pribadi, sepele dan sesaat.” Tak ada yang mengetahui juga Al, bahwa yang menambahi adalah huruf-huruf dari pedalaman hati Sami sendiri.
*
Siang itu mentari makin terik. Semenjak lama sakit-sakitan, baru sekali itu Warnu berada di warung. Selebihnya, ia menjaga rumah. Dengan sisa tenaga Warnu memaksakan diri mengurus beberapa ekor unggas: itik, entok dan ayam. Sayur-mayur ia tanam di pelataran rumah serupa gubuk yang dipanjangkan oleh kandang-kandang. Bagi Warnu, yang ia saksikan hari itu justru menguati keyakinan diri bahwa Gusti memang Maha Pengasih.

“O, Gusti … paring selamat,” gumamnya, meski warung kecil satu-satunya andalan sumber kehidupan tinggal reruntuhan. Serpihan genting, kayu, sisa-sisa potongan bambu berserakan menumpuk di atas tungku dapur warung. Yang masih dapat digunakan dengan hati-hati diambili satu-satu, potong demi potong. Keringat mengguyur sekujur tubuh kerontang lelaki tua itu. Sebentar-bentar ia batuk.

Sumidah baru saja duduk istirahat di tanah lembab. Sambil merenung, ia membayangkan bagaimana jadinya andaikan tidak cepat pulang ke rumah. Biasanya, dekat Mahgrib warung tutup. Sore itu, diburu ketakutan sepeda dikayuh sekuat tenaga menembusi gerimis dan angin ribut. Pintu dapur warung pun tak sempat ditutup. Lalu, mengapa Pak Sam dengan muka merah padam bergegas meninggalkan warung? Sumidah masih larut dalam renungan ketika Warnu, berteriak parau memanggil.

“Kang!” Sumidah cepat bangkit mendekat. Ia khawatir kalau-kalau suaminya itu luka kena paku atau lancipan lain.
“Apa kataku, Idah. Kalau sudah tidak dipakai, jangan kamu jadikan gombal,” Warnu memperlihatkan celana dalam yang ditemukan dekat mulut tungku dapur. Ia yakin bahwa temuan lusuh itu bukan milik orang lain. Pasti, Sumidah yang punya.
“Untung tidak kamu bakar. Tak baik. Simpan atau pendam di belakang rumah. Bencana. Beginilah jadinya.” Dari tangan Warnu, lunglai Sumidah menerima kain tipis kumal hitam berenda yang dikenakan kemarin. Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus. Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya. (awal Maret 2008)

Satu: MENENGOK JEDOR SOBONTORO, TULUNGAGUNG, JATIM


MENENGOK JEDOR SOBONTORO, TULUNGAGUNG, JATIM *)

Orang makan beling makan, makan ayam bugar, saat kesurupan (trance) dalam jaranan yang juga sering disebut kuda lumping. Diiringi tetabuhan gendang, kentongan, orang rela duel cambuk lidi daun aren dalam tiban, ketika terik kemarau berkepanjangan. Tangan, punggung mereka berbilur-bilur merah. Darah pun mengalir dalam ritual minta hujan segera turun. Hijaulah sawah petani desa Wajak, Tulungagung, Jawa Timur.


Jaranan dan tiban memang tak secanggih Kozuii. Produk teknologi negara maju itu konon bisa mengidealkan body perempuan berbagai usia. Jaranan dan tiban, tak lain dari dua di antara aneka kesenian tradisional Tulungagung. Itu belum terhitung beragam kesenian tradisional lain, khas, unik, tersebar di seluruh pelosok desa wilayah Indonesia. Semua itu menjadi kekayaan milik negeri kita. Karenanya, Indonesia masih bisa dibanggakan.

Kita sedih bila tak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, baik sebagai pribadi maupun bangsa. Percaya diri, tumbuh karena memiliki kebanggaan. Bangga punya jaranan dan tiban misalnya, pada gilirannya bisa mendorong terciptanya karya-karya lain: produk-produk berguna bagi sesama, tidak saja Kozuii berinfra merah.


Memang, berbagai produk sarana kehidupan bisa kita cukupi tanpa mencipta sendiri. Budianta (1992) mengatakan, “Komputer bisa diimpor, pesawat terbang dibeli atau dirakit sendiri. Tetapi, mampu percaya diri di manakah kita akan membelinya?”Semasa jaya Gajah Mada, Empu Nala mencipta sendiri perahu, kapal-kapal besar. Nenek moyang kita pun mengarungi berbagai belahan dunia. Gelombang utara: laut Jawa, laut Cina Selatan ditaklukkan. Bahkan, ke Madagaskar menembusi Samudera Indonesia (go international). Kesenian tradisional kita tak lain dari hasil cipta karya sendiri. Ia lahir dari individu-individu percaya diri mampu mencipta. Dari sini, kita mendapatkan harga diri, kreativitas, dan kehormatan bangsa.

Jedor
Kesenian tradisional jedor menjamur di desa wilayah Tulungagung seperti Wajak, Pesanggrahan, Tanggung, Ngrueng, Sepatan, Bendo, Kalituri, Gedangsewu, Moyoketen, Kedungcangkring, Wonorejo, Karangwaru, Winong, Karangrejo, Jeli maupun desa Sendang. Tak jarang dalam satu desa tertentu, masih terdapat beberapa paguyuban jedor. Bagai kerak di atas batu, hidup segan mati tak mau. Demikianlah, nasib kesenian tradisional ini. Sekarang, jedor jarang terdengar kecuali di desa Sobontoro. Para pemain sudah banyak yang meninggal. Bila diundang jedoran di tempat orang berhajat, pemain jedor yang ada dari berbagai desa menggabung. Jarak antarmereka cukup jauh. Usia diri telah lanjut: pelo (suara nggak jelas [r] terdengar [l], misalnya) dan badan rentan terhadap angin malam.
…………………………………..
oleh lik ni, di tepi ladang jagung, 2008