Sabtu, 20 Desember 2008

Tiga: MENENGOK JEDOR SOBONTORO




FILOSOFI MBAH RI *)

Sederhananya, ilmu pengetahuan itu bertujuan mencari kebenaran yang benar-benar benar, betul-betul betul secara akal (rasio): bukan menurut perasaan apalagi selera. Kebenaran menurut akal itu nggak bisa mutlak, tidak seratus persen benar (benar-benar benar). Capaian kebenarannya sebatas mendekati (probality). Plato, Aristoteles misalnya, adalah pemikir-pemikir ulung. Mereka itu filsuf, ahli filsafat yang mengembangkan akal menggali kebenaran, pada zamannya. Kebenaran menurut akal yang mereka kembangkan itu disebut filsafat ilmu (ilmu pengetahuan).


Filsafat, dari phylos yang berarti cinta, dan shopia yang bermakna kebijaksanaan. Gampangnya, ilmu pengetahuan itu mencintai yang benar-benar – bukan sekedar benar, menurut akal manusia.

“Takada janji tepat kecuali janji matahari untuk terbit pagi hari,” adalah satu contoh kata-kata produk filsuf, lazim dikenal dengan kata-kata mutiara. Pernyataan tsb. benar-benar benar, betul-betul betul. Mentari, sekali pun nggak pernah ingkar janji. Ia pasti terbit pagi hari. Tak bakal mbangkong kayak bangsa kodok. Pasti, meski mega mendung menutupi, walaupun hujan kelewat deras, sang surya tak bakal bohong terbit, kecuali kiamat.


Ada contoh lain.
“Halus sikap Tuhan, tetapi tidak memendam kebencian,” Albert Einstein.
“Gunakan cahaya dalam dirimu, untuk meraih pandangan alamimu yang jernih,” Lao Tzu.


Satu lagi.
Ontong bisa kempes,” Muyoto.
Muyoto (56), warga Sobontoro, itu presiden Karyo Wantah (KW). KW, tak lain dari salah satu paguyuban kesenian jedor yang ada di Sobontoro, generasi ke sekian. Lik Ni, sejak awal KW berdiri (1994) mendampingi klub kesenian tradisional yang berbasis pembelajaran nonformal itu. Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan di Karanggudhe, Sobontoro, berdiri tak lepas dari rintisan kawan-kawan yang tergabung dalam KW.


Ontong, bunga bakal buah pisang. Bisa kempes. Jadi, ia gagal capai cita-cita menjadi buah pisang,” presiden KW tadi mengurai saat kami istirahat belajar nuthuk jedor. Masiih menurut Kang Muyoto,“Kita bangsa manusia ini jangan kemlinthi. Bisa kempes seperti ontong. Terhadap sesama apalagi terhadapTuhan, kita jangan sombong.” Mari, kita belajar tiada henti biar tak kempes. Kita manusia bukan ontong. Barangkali, itulah pesan Kang Muyoto. Bangsa manusia dibandingkan dengan bangsa ontong: benar-benar benar?

Master
Mbah Ri (Kuseri, 70) lain lagi. Beliau ini petani. Petani penggarap bukan petani berdasi. Habis disunat, bersama Sadeli (71) ikut Mbah Sodjo (almarhum) ke mana pun jedor diundang orang berhajat. Jedoran keliling bulan pun, Kuseri-Sadeli pasti numpang. Dulu, saat Sobontoro berawa, Kuseri muda hanya duduk mendekati pengendang jedor dalam jedoran yang diketuai Mbah Sodjo. Mata Kuseri tak mau lepas dari ulah tangan kanan kiri pengendang. Kupingnya, bergerak-gerak menyimak lantunan syair jedor. Semangatnya, adalah detak jantung belia yang bergairah. Tampaknya, Kuseri meneliti. Lama-lama, ia diajari memainkan gendang jedor bila jedor Mbah Sodjo nuthuk di kombong dhewek manakala sepi orderan. Kini, Mbah Ri menjadi master gendang jedor tiada tanding, setidaknya di Sobontoro.


Mbah Ri Bukan Filsuf
Mbah Ri bukan filsuf apalagi Muyoto. Jelas, Kuseri tidak mengerti apa itu filsafat: induk segala macam ilmu pengetahuan yang kini berkembang pesat: pecah-pecah spesifik menjadi beragam spesialisasi ilmu pengetahuan canggih. Tentang bunyi jedor laiknya filsuf, Mbah Ri - panglima gendang jedor tadi, mengurai sebagai berikut.


“Tipung lanang berkulit lembu. Tipung wadon berkulit kambing. Kulit lembu lebih kuat daripada kulit kambing karena lebih tebal. Jadi tipung lanang itu lelaki, yang lebih kuat. Sedangkan tipung wadon adalah perempuan. Bunyi tipung lanang kan lebih rosa (nyaring) dibanding bunyi tipung wadon. Itulah suami istri.”

Malam itu memang lagi istirahat nuthuk (membunyikan) jedor. Sebelas kawan generasi penerus (Muyoto, dkk.) sedang belajar memainkan musik jedor. Muyoto memainkan gendang. Suparno belajar nuthuk kempyang. Paidi belajar ndhalang sambil memainkan terbang, Surani belajar menjadi bek, Muryadi memukul jedor. Sugianto dan Mugiono masing-masing belajar nuthuk tipung lanang dan wadon. Yang lain belajar sauran. Semua kader – individu KW itu, dibina Tim Sukses LIER (Sadeli-Kuseri).
Jedor LIER yang diketuai Sadeli, dijamin bisa membuat orang liyer-liyer, mengantuk nyaman karena buaian semilir angin. LIER, unggul suara dalam kancah perjedoran, dulu sebelum Mbah Li pelo dan Mbah Ri sakit-sakitan. Liyer-liyer seperti kartun Romo Koko, kartunis pemerhati masalah sosial (htpp: //www.romokoko.com).


Sepasang `suami-istri` dilanjut Mbah Ri. Tak berdaya, Muyoto, dkk. singlu (sunyi, terkesan menakutkan) menyimak.

“Ya, suami istri. Itu mula kehidupan. Agar hidup damai tenteram, maka di-kempyang-i (diubyuki: didukung, diramaikan, diguyubi). Oleh karena itu, setelah bunyi tipung lanang dua kali dan satu kali bunyi tipung wadon, segera disusul bunyi kempyang. Di-kemyang-i biar suami istri akur (accord) kadya mimi lan mintuna, kayak Tom and Jerry, Mendut-Pronocitro, kalong dan buah gempol yang pohonnya banyak tumbuh di Sobontoro, bekas medan berawa. Tidak saja di-kempyang-i, juga di-terbang-i supaya rumah tangga laju bak bus Patas (Cepat Terbatas). Semua itu diiringi, digiring menuju penaking urip bebrayan oleh gendang. Akhirnya, barulah diklik Yes oleh jedor: diamini, agar Gusti Pangeran, Allah SWT, mengabulkan bisa beranak pinak sluman-slumun-slamet ndonya ngakerat.”

Harmonisasi
Entah acuan (referen) mana digunakan Kuseri menelusuri keenam perangkat jedor (tipung lanang dan wadon, kempyang, terbang, gendang, dan jedor) simbolis dinamika kehidupan sepasang suami istri. Boleh jadi, hal itu bermula dari rerenungan tetua jedor pendahulu, disampaikan lisan kepadanya: dari mulut ke mulut (dari mulut ke telinga, kan) ketika budaya baca tulis masih langka.


Yang jelas, yang dikemukakan Kuseri tak lain dari harmonisasi bunyi seluruh perangkat musik jedor. Keenam perangkat akan memperdengarkan pesona musik ritmis jedor, padu dengan syair yang dilantunkan bilamana dibunyikan benar-benar benar: sesuai dengan tetua pendahulu memainkan musik jedor. Faktanya, baik Mbah Li maupun Mbah Ri tak pernah mengatakan harmonisasi apa pun, hingga kini.

Istirahat dicabut. Dicermati Kang Paidi, Mbah Li mulai melantunkan syair jedor berikutnya, “Gendhung awal-awal. Maole gendhung yola awalake, yola. Yola gendhung lamun sinandhung ….” Bintang-bintang masih kemerdip meski dicerai kelam. Angin musim kemarau ringan mengangkuti kelembaban udara. Malam menyelimuti warga Sobontoro yang pulas maupun jaga, dalam buaian pesona jedor.
……………………………….........................
*) oleh lik ni, yang di tepi, desember 2008)

Jumat, 19 Desember 2008

Dua: MENENGOK JEDOR SOBONTORO


Menengok Jedor Sobontoro

Kita menjenguk nenek-kakek di desa. Meski sebentar - tak lama karena kita harus pulang melanjutkan pekerjaan, bukan berarti cinta kita luntur terhadap nenek-kakek. Tanpa beliau-beliau itu, kita tak bisa menjenguk siapa pun. Menengok Jedor Sobontoro bisa diartikan mengetahui, melihat lebih dekat jedor Sobontoro. Sekilas, sebentar atau tak lama seperti kita menyambangi nenek-kakek di desa, kali itu.

Bila lebih jauh, mendalam, kita harus meneliti lebih intensif. Hal itu kita lakukan misalnya bila bertanya, "Mengapa jedor Sobontoro masih berkumandang hingga kini. Sampai kapan sebelum akhirnya punah," dalam konteks pelestarian budaya di Kabupaten Tulungagung, Jatim.

Tulisan ini, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Secara berseri, ia bukan hasil penelitian yang mendalam seperti skripsi apalagi tesis. Memang, Menengok Jedor Sobontoro, Tulungagung, Jatim, disusun dari hasil penelitian. Namun, penelitiannya sederhana, menggunakan ragam penelitian lapangan, populer. Bahan sebatas kesan-kesan dan catatan pengalaman harian. Transkrip yang ada (tidak pulang ke Daun Jatuh ini), adalah satu-satunya sumber tertulis yang bisa diperoleh. Wawancara dalam upaya pengumpulan data, sebatas percaya mengikuti penjelasan tetua jedor yang ada - yang dianggap mempunyai penguasaan atau dipandang berwenang (modus otorita) terhadap kesenian tradisional jedor di Sobontoro, Tulungagung, Jatim.

Tujuan, sebatas mencapai tujuan penelitian paling sederhana yaitu sekedar dapat mendeskripsikan sesuatu meliputi 1) penamaan, 2) klasifikasi, 3) tatakerja, pembuatan,dll. termasuk 4) fenomena yang bisa diketahui menyangkut Kesenian Tradisional jedor Sobontoro.
Bukan mencapai tujuan yang lebih dalam (esensial) seperti menjelaskan hubungan antarfenomena lebih-lebih hubungan kausal maupun meramalkan fenomena yang akan terjadi.





Rabu, 17 Desember 2008

Cerpen

LESUS DALAM WARUNG
Cerpen Beni Harjanto

Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus.

Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam,
siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya.


Bentangan langit pucat. Matahari sejak pagi disembunyikan mega-mega mendung. Jauh di belakang bubungan rumah-rumah jauh pada sela kerimbunan pokok pepohonan, kaki langit menghitam. Dari teras warung dekat hamparan sawah, kehitambiruan gunung mendominasi mata. Hujan rintik mulai menderas. Sami memarkir sepeda motor di teras warung itu bukan untuk berteduh melainkan makan pagi pada siang yang serupa pagi bahkan laiknya senja.


Lima orang membuat warung 3 X 3.5 meter itu terasa sesak. Yang bertelanjang dada sejenak berhenti menyuapi mulut ketika Sami masuk. Sami ditatapi, mengangguk lalu duduk.
“Sana angin, ya,” kata yang bertelanjang dada.
“Pohon sengon saya roboh, Pak. Dapur hampir kena,” balas Sami.
“Belum seberapa. Rumah-rumah hancur. Sana dekat kandang bus Dahlia.” Sami mengangguk-angguk. Lapar menguasai. Ia enggan menimpali apa atau mengatakan sesuatu yang lain.
“Ndak karuan. Bencana. Dulu disebut lesus, kan. Angin muter-muter itu, lho. Sekarang katanya puting beliung,” yang berkaos keabuan membuka mulut. Piring di depannya telah kosong.
“Tapi Amerika teliti. Di bawah lumpur Lapindo ada harta karun. Bakri itu orang terkaya di Indonesia,” kata yang berseragam kekuningan mungkin pegawai pemda atau perangkat desa. Sepatunya hitam mengkilat minus kaos kaki. Piring di depannya kosong. Botol-botol hijau kosong berdebu beberapa tak bertutup, toples kerupuk, juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik semua berbenturan satu sama lain di mata Sami. Ilusi Sami itu menegasi kemauannya untuk makin diam. Tidak saja di cakruk malam-malam ketika kawan-kawan di desanya ngobrol, di warung ini pun percakapan dengan mudah berganti-ganti topik tanpa konsekuensi apa pun.

“Pak Sam makan, ya?” muncul dari dapur Yu Dah bertanya. Sami tersenyum mengiyakan. Berbeda dengan senyum sebelumnya ketika sendiri sarapan di warung yang sama. Yu Dah tidak sesibuk hari ini. Perempuan paruh baya itu duduk di lincak seberang meja makan mengupasi bawang merah. Tak ada percakapan di antara keduanya. Tetapi entah mengapa, Sali dapat merasai bahwa makan kali itu tidak sekedar mengatasi lapar. Botol-botol kosong hijau berdebu menawarkan diri untuk diusapi. Toples menanti dibukai. Juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik minta didengarkan keriuknya: ya, saat itu.

“Ayoh!” yang bertelanjang dada berdiri diikuti dua yang lain. “Teruskan, semua. Kami akan mengukur tanah,” tambahnya ramah bersemangat. Ketiga orang itu ke luar warung. Langkah mereka panjang-panjang mantap bersama hujan yang berubah gerimis. Memandangi ketiganya, mata Sami terpaku pada gerbang sekolah di seberang jalan. Tampak Al, istri Sami, berjalan cepat-cepat menuju warung. Keduanya memang telah berjanji untuk bertemu di warung Yu Dah setelah Sami dari BRI di kota. Di teras warung sebentar saja keduanya bercakap-cakap. Sami menyerahkan uang pada Al. Sami diminta segera makan dan diberitahu agar ia tidak membayar karena uang Al masih ada pada Yu Dah. Al segera balik ke sekolah masih bersama gerimis, masih ditunggu para siswa di dalam kelas.

“He, dibonceng?!” (terlambat) Sami meneriaki istrinya dalam hujan bukan gerimis. Menengok sebentar Al melambai dan senyum, berlari ke sekolah yang tak jauh dari warung Yu Dah. Seperti ketiga orang yang akan mengukur tanah tadi, istri Sami tampak bersemangat siang itu, di bawah hujan. Di bawah segebok uang? Sami masuk warung membawa pikirannya. Nasi sudah tersedia di meja berteman kopi, bersama kelebat semangat istrinya, hari itu, di bawah hujan.

“Istri sampeyan guru di SMP itu, ya,” tanya yang berseragam seperti yang dikenakan istri Sami tadi.
“Ya,” jawab Sami menekuni nasi di piring.
“Mana rumah sampeyan?”
“Jembatan Tinggi. Pasar sapi ke timur lurus.”
“Pekerjaan sampeyan?” Tiba-tiba nasi Yu Dah menjadi rasa lain. Mengapa warung tidak sepi saja. Sesekali sepi pembeli sepi kata-kata di warung Yu Dah, bagi Sami meramaikan kemungkinan-kemungkinan dalam pikiran.
“Tidak tentu, Bapak,” Sami kaget mendengar kata-katanya sendiri.
“Bagaimana itu, ya. Mana mungkin tidak tentu. Istri sampeyan kan guru!”
“Buat baju-baju,” jawab Sami menenangkan diri.
“Wah gede, ya.”
“Tidak juga, Bapak.”
“Bagaimana menjualnya, di mana pasarnya? Siapa yang membawa?” Sami mengeluarkan 76 dan korek api dari saku celana, “Kretek, Bapak.” Ia berharap agar pertanyaan-pertanyaan lebih jauh tentang dirinya dihentikan. Yang berseragam cepat-cepat merogoh kantong celana sendiri, mengeluarkan Surya kemudian menyulut.
“Baju-baju apa saja?” di balik kepulan asap rokok yang berseragam itu tajam memandangi Sami. Yu Dah laiknya mesin fotokopi ulang-alik antara dapur dan warung. Lewat kotak lubang pada triplek penyekat dua ruang sempit dalam warung itu, sesekali mata Yu Dah menajami Sami.
“Bapak bekerja di mana?” Sami coba balik bertanya.
“Saya guru.”
“Wah kebetulan, Bapak.” Tiba-tiba Sami merindukan kesenangan yang sama sekali tak pernah dilakukan. Nunggang kuda misalnya, atau nangkring berlama-lama pada pokok pepohonan, atau berada di bak truk tua yang mengangkut muatan jauh menyeberangi selat tanpa diusir awak kendaraan itu …. Atau apa saja, asal yang sekali pun belum pernah dialami itu menyenangkan. Menggelandang bersama truk tua, jauh dan tolol dari perkara pernik-pernik kerumahtanggaan mendadak muncul sebagai pilihan serampangan Sami.
“Begini … istri saya itu, lho. Akhir-akhir ini petang baru pulang. Sering hingga malam di depan komputer, lalu menumpuk, membongkar mencari kertas-kertas. Segebok, tebal. Eh … tiga atau empat gebok, Bapak.”
“Itulah sertifikasi! Harus sekolah S1. Nanti lolos terima tunjangan profesi satu kali gaji. Memang begitu, harus sibuk,” tampaknya ceramah mulai mendaulat.
“Sertifikasi?”
“Tidak salah! Sampeyan harus mengerti. Istri sampeyan pasti sibuk.”
“Ia tak sempat memasak. Saya tidak makan di rumah, Bapak.”
“Begitulah akibatnya. Istri sampeyan itu menyiapkan administrasi. Kami berdua dapat bandeman lima puluh ribu dari teman yang sudah lolos. Ia baru terima empat juta lebih,” yang berkaos keabuan berbicara.
“Administrasi, Bapak?”
“Benar. Sampeyan tak paham. Kalau saya belum ikut. Nasib sajalah. Temanku yang lolos itu sebenarnya kalah bobot denganku. Dia itu tidak berani mengajar kelas VI. Saya yang mengajar. Ya sudah, nasib saja,” yang berseragam seperti masih ingin memuntahkan isi benak dan pedalaman hati. Kepala Sami berdenyut.

“Jadi peserta sertifikasi itu tidak gampang. Menemui orang-orang tertentu di atas. Main serobot hak orang. Pesan agar dibuatkan perlengkapan. Kalau dalam pekerjaan sampeyan itu dijahitkan namanya. Macam-macam caralah. Tak sedikit uang dikeluarkan peserta,” yang berkaos keabuan tertawa-tawa. Yang berseragam tertawa-tawa. Tak hanya geram dan pusing, Sami kaget. Klakson colt diesel memekakkan telinga tepat di depan warung Yu Dah. Dalam kabin pengemudinya tertawa, melambai-lambai. Hujan reda. Di luar warung yang berkaos keabuan dan yang berseragam masih tertawa-tawa. Tak berapa lama, deru motor mereka melemah jauh di barat di jalanan persawahan meninggalkan sisa tawa-tawa yang menyakitkan Sami. Kelengangan warung dikuasai hujan yang menderas lagi.
*
Selama ini Yu Dah tidak banyak berkata-kata bila Sami singgah di warungnya. Perempuan sintal itu hanya tersenyum kemudian menyodorkan nasi lalu kopi selanjutnya diam duduk menemani di seberang meja atau menyibukkan diri di dapur warung. Tentu, Yu Dah tersenyum jika Sami diketahui memandangi. Kali ini tidak begitu.

“Ditanyai baik-baik kok menipu. Pak Sam itu bagaimana. Dia tadi pak guru Bardi. Temannya juga guru. Pak Sam sendiri guru,” kata Yu Dah. Bak petasan cabai rawit, kata-katanya hanya meledak-ledak kecil dalam hujan yang makin menderas menjelang sore itu. Sami tahu Yu Dah tidak benar-benar marah.
“Saya katakan apa adanya nanti. Dengan sesama guru kok bohong,” Yu Dah menggoda. Mata memandang ke atas bersamaan dengan kepalanya yang bergoyang ritmis ke kiri kanan: lembut kayak gerak-gerik ASIMO, robot humanoid mirip manusia yang dikendalikan teknisi Honda asal Thailand.
“Sungguh. Tolong, Yu. Jangan ceritakan siapa aku kalau mereka ke sini lagi,” balas Sami menahan gejolak hati lama dipendam.
“Kapan-kapan, kuberitahu mengapa tadi berbohong,” gemetar Sami berdiri mengulurkan uang.

Tampaknya, Sami – juga Yu Dah, lupa pada pesan Al bahwa ia tak perlu membayar. Tangan menerima uang tak dilepaskan. Guruh menggelegar tak mampu memberikan peringatan apa pun justru menggoyahkan gejolak yang hendak dipadamkan. Lihat, butir-butir hujan mulai mendesahi bara di tungku dapur melalui genting yang rembes. Dari lubang tungku asap putih meliuk. Sekejab lenyap ke mana. Pucuk pepohonan berputar-putar mengikuti hempasan angin. Satu-satunya jalan di depan warung itu sunyi. Setan bermain-main dalam sepi.
“Yu ….”
“Ah … Pak ....”
“Yu ….”
“Pak … Paak ….”
“Uang … Bu Al, masih ada,” kata Yu Dah tersendat.
Mendengar nama istrinya, Sami tersentak. Ada kelebat istrinya dalam hujan, melambai dan tersenyum: Al yang selama ini percaya kepadanya, di mana atau kapan pun Sami berada.
Bara-bara menganga belum sempurna padam oleh tetesan dari atap dapur warung ketika kedua manusia yang berdiri itu tidak lagi saling merapatkan tubuh.
“Aku pulang!” Sami bergegas meninggalkan dapur warung. Yu Dah memburu hingga di pintu depan warung sambil membenahi kancing bajunya.
*
Sami memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Samirono. Sarjana pendidikan ini lolos sertifikasi guru gelombang pertama (2006) tanpa `menjahitkan`. Tanpa kebanggan meski tunjangan profesi dua juta sekian telah diambil dari BRI kemudian diterimakan istri di warung Yu Dah. Baginya sertifikasi guru harus utuh dalam pemahaman, objektif dalam proses maupun pelaksanaan. Sami marah entah karena ucapan Yu Dah tentang uang Al atau ucapan Bardi dan temannya mengenai sertifikasi guru.

Memasuki jembatan hujan tambah menderas. Meski tidak memandang ke bawah, tak urung mata Sami terbawa pada permukaan arus air di bawah papan geladak jembatan lebar 1.5 meter, keruh coklat menggelegak. Ia pacu lagi motornya yang menerbangkan dalam ayunan di atas permukaan air. Ia memahami betul seluk-beluk jalur ini. Tidak jarang Sami mengantar kadang menjemput Al. Jembatan gantung itu harus dilalui bila ingin lebih hemat waktu dan bensin.

Pada umur setengah abad, masih tampak keterampilannya mengendara. Hal itu terbukti kemudian ketika ia akan mengakhiri panjang jembatan. Tanpa mengurangi kecepatan, Sami menikung tajam ke kiri setelah sedikit mengambil haluan kanan. Roda depan masuk kubangan di pojok kiri luar jembatan. Sami muncul dari semburan air masih dalam kecepatan penuh, bersama jengkel, dan marah masih entah kepada siapa atau karena apa. Bercak lumpur melekati mika helm di balik mata. Celana pendek, kaos oblong masih meneteskan air hujan hingga ia berhenti di mulut gang menuju rumah. Hangatnya sisa air mata juga masih dirasai. Kemarahannya mulai terkendali begitu mengetahui kenyataan di depan mata.

Sami berlarian ke rumah-rumah tetangganya yang rata dengan tanah. Semua selamat. Mereka bergerombol lagi saling membisu setelah disalami Sami. Al meloncat turun dari boncengan sepeda motor temannya tepat pada saat Sami hendak berangkat menyusul. Ia segera memburu istrinya.

“Semua selamat!”
“Sana juga. Anak-anak dipulangkan. Sekolah nggak kena. Warung Yu Dah terbang. Mudah-mudahan ia pulang awal ….” kata Al terbata-bata. Suami istri itu kemudian mengitari rumah sendiri yang sudah tak beratap. Al tidak berkata apa pun. Sami merenung. Mereka diam. Hujan reda menyisakan kegaduhan lalu lalang orang-orang yang berdatangan dalam remang. Adzan Maghrib menggema.

Pagi hari koran lokal memuat puting beliung yang menyapu dua desa. Puluhan rumah porak-poranda, pohon-pohon besar bertumbangan, sebuah warung diterbangkan. Hingga kemarin, tulis berita itu, belum diketahui adanya korban jiwa. Beberapa warga sempat dilarikan ke RSUD kota karena luka ringan dan patah tulang.
Tidak seperti biasanya, dalam hard news tadi – yang sudah-sudah cenderung tersusun dari unsur 5 W + 1 H, kali ini setelah ekor berita ditambahkan, “Angin delapan penjuru memang telah mengamuki dua desa itu. Menerjang mungkin yang lolos maupun tidak lolos dalam sertifikasi guru. Siapa saja, lesus tahu, manusia sudah bertingkah sekedar mengikuti selera pedalaman hati masing-masing. Sebuah pedalaman aman tak tertembusi yang ternyata hanya berujung pada kepentingan pribadi, sepele dan sesaat.” Tak ada yang mengetahui juga Al, bahwa yang menambahi adalah huruf-huruf dari pedalaman hati Sami sendiri.
*
Siang itu mentari makin terik. Semenjak lama sakit-sakitan, baru sekali itu Warnu berada di warung. Selebihnya, ia menjaga rumah. Dengan sisa tenaga Warnu memaksakan diri mengurus beberapa ekor unggas: itik, entok dan ayam. Sayur-mayur ia tanam di pelataran rumah serupa gubuk yang dipanjangkan oleh kandang-kandang. Bagi Warnu, yang ia saksikan hari itu justru menguati keyakinan diri bahwa Gusti memang Maha Pengasih.

“O, Gusti … paring selamat,” gumamnya, meski warung kecil satu-satunya andalan sumber kehidupan tinggal reruntuhan. Serpihan genting, kayu, sisa-sisa potongan bambu berserakan menumpuk di atas tungku dapur warung. Yang masih dapat digunakan dengan hati-hati diambili satu-satu, potong demi potong. Keringat mengguyur sekujur tubuh kerontang lelaki tua itu. Sebentar-bentar ia batuk.

Sumidah baru saja duduk istirahat di tanah lembab. Sambil merenung, ia membayangkan bagaimana jadinya andaikan tidak cepat pulang ke rumah. Biasanya, dekat Mahgrib warung tutup. Sore itu, diburu ketakutan sepeda dikayuh sekuat tenaga menembusi gerimis dan angin ribut. Pintu dapur warung pun tak sempat ditutup. Lalu, mengapa Pak Sam dengan muka merah padam bergegas meninggalkan warung? Sumidah masih larut dalam renungan ketika Warnu, berteriak parau memanggil.

“Kang!” Sumidah cepat bangkit mendekat. Ia khawatir kalau-kalau suaminya itu luka kena paku atau lancipan lain.
“Apa kataku, Idah. Kalau sudah tidak dipakai, jangan kamu jadikan gombal,” Warnu memperlihatkan celana dalam yang ditemukan dekat mulut tungku dapur. Ia yakin bahwa temuan lusuh itu bukan milik orang lain. Pasti, Sumidah yang punya.
“Untung tidak kamu bakar. Tak baik. Simpan atau pendam di belakang rumah. Bencana. Beginilah jadinya.” Dari tangan Warnu, lunglai Sumidah menerima kain tipis kumal hitam berenda yang dikenakan kemarin. Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus. Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya. (awal Maret 2008)

Satu: MENENGOK JEDOR SOBONTORO, TULUNGAGUNG, JATIM


MENENGOK JEDOR SOBONTORO, TULUNGAGUNG, JATIM *)

Orang makan beling makan, makan ayam bugar, saat kesurupan (trance) dalam jaranan yang juga sering disebut kuda lumping. Diiringi tetabuhan gendang, kentongan, orang rela duel cambuk lidi daun aren dalam tiban, ketika terik kemarau berkepanjangan. Tangan, punggung mereka berbilur-bilur merah. Darah pun mengalir dalam ritual minta hujan segera turun. Hijaulah sawah petani desa Wajak, Tulungagung, Jawa Timur.


Jaranan dan tiban memang tak secanggih Kozuii. Produk teknologi negara maju itu konon bisa mengidealkan body perempuan berbagai usia. Jaranan dan tiban, tak lain dari dua di antara aneka kesenian tradisional Tulungagung. Itu belum terhitung beragam kesenian tradisional lain, khas, unik, tersebar di seluruh pelosok desa wilayah Indonesia. Semua itu menjadi kekayaan milik negeri kita. Karenanya, Indonesia masih bisa dibanggakan.

Kita sedih bila tak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, baik sebagai pribadi maupun bangsa. Percaya diri, tumbuh karena memiliki kebanggaan. Bangga punya jaranan dan tiban misalnya, pada gilirannya bisa mendorong terciptanya karya-karya lain: produk-produk berguna bagi sesama, tidak saja Kozuii berinfra merah.


Memang, berbagai produk sarana kehidupan bisa kita cukupi tanpa mencipta sendiri. Budianta (1992) mengatakan, “Komputer bisa diimpor, pesawat terbang dibeli atau dirakit sendiri. Tetapi, mampu percaya diri di manakah kita akan membelinya?”Semasa jaya Gajah Mada, Empu Nala mencipta sendiri perahu, kapal-kapal besar. Nenek moyang kita pun mengarungi berbagai belahan dunia. Gelombang utara: laut Jawa, laut Cina Selatan ditaklukkan. Bahkan, ke Madagaskar menembusi Samudera Indonesia (go international). Kesenian tradisional kita tak lain dari hasil cipta karya sendiri. Ia lahir dari individu-individu percaya diri mampu mencipta. Dari sini, kita mendapatkan harga diri, kreativitas, dan kehormatan bangsa.

Jedor
Kesenian tradisional jedor menjamur di desa wilayah Tulungagung seperti Wajak, Pesanggrahan, Tanggung, Ngrueng, Sepatan, Bendo, Kalituri, Gedangsewu, Moyoketen, Kedungcangkring, Wonorejo, Karangwaru, Winong, Karangrejo, Jeli maupun desa Sendang. Tak jarang dalam satu desa tertentu, masih terdapat beberapa paguyuban jedor. Bagai kerak di atas batu, hidup segan mati tak mau. Demikianlah, nasib kesenian tradisional ini. Sekarang, jedor jarang terdengar kecuali di desa Sobontoro. Para pemain sudah banyak yang meninggal. Bila diundang jedoran di tempat orang berhajat, pemain jedor yang ada dari berbagai desa menggabung. Jarak antarmereka cukup jauh. Usia diri telah lanjut: pelo (suara nggak jelas [r] terdengar [l], misalnya) dan badan rentan terhadap angin malam.
…………………………………..
oleh lik ni, di tepi ladang jagung, 2008

Selasa, 16 Desember 2008

Menulis: 4.3 Menulis petunjuk melakukan sesuatu dengan urutan yang tepat dan menggunakan bahasa yang efektif - RPP


RANCANGAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
DAN PERAHU KURANG ASEM

Sekolah : SMP Negeri 1 Kedungwaru
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Tema : Komunikasi
Anak Tema : Menulis Petunjuk
Kelas / Semester
: VIII / 3
Tahun Pelajaran
: 2008 / 2009
Waktu
: 2 X 45 Menit
Kurikulum Acuan : Kurikulum Berbasis Kompetensi
(SK dan KD SMP, BSNP: 2006)
(Kurikulum SMPN 1 Kedungwaru, 2008)


A. Standar Kompetensi (SK)
Menulis

4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk laporan, surat dinas, dan petunjuk

B. Kompetensi Dasar (KD)
4.3 Menulis petunjuk melakukan sesuatu dengan urutan yang tepat
dan menggunakan bahasa yang efektif

C. Indikator
4.3.1 Mampu mengenali ciri-ciri model petunjuk yang disediakan;
4.3.2 Mampu membuat benda tertentu (benda pakai: mainan,
untuk tempat tertentu, dll.) dari bahan-bahan bekas; dan
4.3.3 Mampu menulis atau membuat petunjuk (cara membuat,
memainkan, menggunakan) benda tertentu yang telah
dibuat sendiri.

D. Tujuan Pembelajaran
4.3.1.1 Setelah mengamati model petunjuk yang disediakan – dengan
pertanyaan pemandu, siswa mampu mengenali ciri-ciri petunjuk;
4.3.2.1 Setelah melakukan tanya jawab seputar benda pakai,
siswa mampu membuat sendiri benda tsb. dengan
bahan bekas yang ada; dan
4.3.3.1 Setelah membuat sendiri benda pakai, siswa
mampu membuat petunjuk bagaimana membuat,
memainkan atau menggunakannya
berdasarkan ciri-ciri petunjuk
yang telah ditemukan ketika mengamati model
petunjuk, sesuai dengan urutan
mengerjakan (dari awal hingga akhir/selesai)
benda pakai yang telah dibuat sendiri.

E. Materi Pokok dan Uraiannya
Materi pokok:
Petunjuk

Uraian Materi
Uraian materi 4.3.1.1: Model, Pertanyaan Pemandu, dan
Ciri-ciri Petunjuk (Lampiran 1)
Uraian materi 4.3.2.1: Benda Pakai Buatan Siswa
Uraian materi 4.3.3.1: Petunjuk tentang Cara Membuat,
Memainkan,atau Menggunakan
Benda Pakai Buatan Siswa

F. Metode Pembelajaran
Inquiry,
dipilih untuk kegiatan pembelajaran
yaitu 1) mengamati model,
dan 2) menemukan sendiri ciri-ciri petunjuk
melalui pertanyaan pemandu;
Questioning, berupa pertanyaan pemandu dan
tanya jawab seputar benda pakai
yang akan dibuat sendiri oleh siswa;
Teknik Rangsang Kegiatan, membuat sendiri
benda pakai sebagai
dorongan (rangsangan) agar siswa bisa membuat
petunjuk bagaimana cara membuat,
memainkan atau menggunakan benda pakai
yang telah dibuat sendiri; dan
Penugasan, berupa pemberian tugas (tugas rumah)
yaitu membuat
petunjuk Cara Merawat Bayi
(berdasarkan inspirasi dari teks dan
gambar: Pokoke nguueeekkk ... jel ! -
lihat Iklan dan Asi).

G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Bagian Pendahuluan à 15 Menit
1) Membagikan (1) model berupa Petunjuk,
(2) Pertanyaan Pemandu,
dan (3) Instrumen Pengamatan Sikap dalam
Berdiskusi Kelas (Lampiran 2);
2) Secara berkelompok (kelompok kecil: 2-3 siswa)
mengamati model,
menjawab pertanyaan pemandu untuk
menemukan ciri-ciri petunjuk;
3) Membahas (maksimal 2 sampel) – melalui tanya
jawab, ciri-ciri petunju
yang ditemukan sendiri dalam kerja kelompok;
2. Bagian Inti à 65 Menit
4) Secara berkelompok (kelompok kecil: 2-3 siswa)
membuat
benda pakai – menggunakan bahan
bekas – sesuai yang diinginkan – tempo
pembuatan terbatas (10 menit) – sebelumnya telah
diinformasikan utamanya agar
peralatan kerja telah disiapkan, sambil menulis
tiap tahapan yang dikerjakan;
5) Masih secara berkelompok, membuat
Petunjuk berupa teks yang memuat (1) nama
benda pakai yang telah dibuat disertai
alasan pemberian nama, (2) tahun pembuatan,
(3) bahan dan asal-usulnya, (4) spesifikasi
produk (perbedaannya dengan produk
semacam yang sudah ada, keunggulan dan
kelemahan produk), (5) petunjuk cara
membuat, memainkan, atau menggunakannya,
(6) nilai ekonomis produk
(berapa harga produk), dan
(7) keterangan berupa alamat pembuat produk yang
bisa dihubungi (untuk keperluan complain
maupun permintaan informasi lain);
6) Berdiskusi kelas (maksimal 2 sampel) membahas
Teks Petunjuk karya kelompok,
difokuskan pada (bahasa) Petunjuk – sesuai tidaknya
dengan ciri-ciri petunjuk yang telah
ditemukan sendiri pada kegiatan 2)
dan 3) diatas,
cara membuat, memainkan,
atau menggunakan produk yang telah dibuat
dalam kelompok kecil; dan
7) Menyunting karya masing-masing kelompok
berdasarkan hasil kegiatan diskusi kelas.
3. Bagian Penutup à 10 Menit
8) Pertanyaan reflektif:

(1) Sebutkan (minimal dari 4 aspek)
ciri-ciri Petunjuk!
(2) Kapan Petunjuk itu perlu dibuat? Beri alasan
atas jawabanmu!
(3) Mungkinkah, keterampilan membuat
Petunjuk tertentu itu bisa digunakan
sebagai mata pencaharian? Sertakan alasan
pada jawabanmu!
9) Tugas (Tugas Rumah):
(4) Carilah sebuah Petunjuk tentang cara membuat,
memainkan, atau menggunakan
sesuatu, atau hal lain (cantumkan sumber
dari mana Petunjuk tsb. diperoleh).
Ubah Petunjuk tsb. menjadi
sebuah teks (minimal 2 paragraf)!

H. Sumber Belajar
1. Contoh Petunjuk sebagai model (Penggunaan Kompor Gas Elpiji, Pertamina);
2. Buku teks siswa (Belajar Berkomunikasi, Barokah Santoso dkk., 2008); dan
3. Keterampilan Menulis Paragraf, Soedjito dan Taryono, 1981.

I. Penilaian
1. Teknik:
(1) Tes Tulis; dan
(2) Tes Produk
2. Soal/Instrumen:
(1) Tes tulis:
Setelah kamu mengamati model Petunjuk
(Penggunaan Kompor Gas Elpiji),
tentukan ciri-ciri Petunjuk dengan cara
menjawab pertanyaan pemandu.
(2) Tes produk dengan rubrik penilaian berikut ini.
Rubrik penilaian Petunjuk:
.............................................................................
NO.
ASPEK
DESKRIPTOR
YA/TIDAK SKOR
………………………………………………….
1.
Kejelasan
a. Petunjuk berurutan? ... ...
b. Terdapat gambar pendukung? ... ..
2.
Tubuh Teks Petunjuk
c. Terdapat nama benda pakai ... ...
yang disertai alasan pemberian nama?
d. Dicantumkan tahun pembuatan
benda pakai? ... ...
e. Terdapat informasi menganai bahan,
asal-usulnya? ... ...
f. Terdapat spesifikasi benda pakai? ... ...

g. Bagian petunjuk lebih banyak daripada
bagian lain (bagian c-f, dan h-i)?
h. Dicantumkan harga benda pakai? ... ...
i. Dicantumkan alamat pembuat benda pakai? ... ...
3.
Bahasa
j. Isi kalimat mudah dipahami? ... ...
k.Sama sekali tak ada kata nonbaku? ... ...
l. Terdapat kesalahan penulisan
huruf besar, tanda baca?
4.
Kemenarikan m. Judul klise? ... ...
n. Diberi warna-warna tertentu? ... ...
……………………………………………………
Ket.: sebelum digunakan sebagai pedoman penilaian, rubrik di atas
perlu dibahas dulu bersama siswa termasuk berapa besaran skor .


Tulungagung, Pertengahan Juli 2008
Guru Bahasa Indonesia,

Beni Harjanto, S.Pd., M.Pd.
NIP 130795304

Mengetahui dan Memeriksa,
Kepala SMP Negeri 1 Kedungwaru


DRS. HARIYANTO SUMINARSO, M.M.
NIP 131429934
Catatan hasil pemeriksaan: ................................................
..............................................................................................


PERAHU KURANG ASEM: Johan Purnomo, Nurkafi, dan Yusron Ghozid Dunya *)

Ketiganya siswa kelas VIII A 2008/2009 di sekolah tempat Lik Ni bekerja.
Melalui kerja kelompok kecil, mereka belajar membuat Petunjuk. Perahu Kurang Asem
tak lain dari nama produk yang mereka kerjakan bersama saat memasuki Bagian Inti
Pembelajaran. Dalam proses membuat produk, Johan, Nurkafi, dan Yusron tak lupa
mencatat tahapan pembuatan produk. Tak berbeda, semua kelompok kecil lain
melakukan hal serupa.

Lik Ni mendekati kelompok demi kelompok. Tak lupa ia meminta tiap siswa mengisi
Lembar Pengamatan Sikap dalam Kerja Kelompok. Dia percaya, tak satu pun siswa
menjadi `penumpang gelap` dalam kerja kelompok.

“Sini, Pak!” Yang berteriak berharap dikunjungi: minta bimbingan.

“Bila produk sudah ada, tolong buat beda. Jangan sama dengan yang sudah ada.
Tampil beda, Man,” teriak Lik Ni.
Meski bukan produk melainkan Petunjuk Cara
Membuat yang perlu dikuasai, ia berharap para siswa tidak sekedar meniru-niru (stereotype).
Tempo, berjalan 45 menit dari keseluruhan alokasi waktu pembelajaran
Menulis Petunjuk (2X45 menit). Musholla tempat mereka belajar berubah
menjadi pasar. Paving di luar memantulkan terik mentari. Gerah diademi angin
lewat teras musholla bertiang minus jendela, siang itu.

Berikut Petunjuk (belum dibahas dalam diskusi kelas dan belum disunting)
karya Johan, Nurkafi, dan Yusron.

Perahu Kurang Asem
Bahan: 3 kertas yang diperoleh dari teman
Cara membuat: cukup sederhana, hanya melipat 3 kertas dari buku bekas
menyerupai kapal but. Tempelkan kertas warna ditemukan di bawah
bangku (terserah warna yang diinginkan). Dan terakhir tumpuk ketiga kapal
tersebut dengan castol yang minta dari teman dan daun dari taman di depan kelas
Spesifikasi:

- untuk tempat abu rorok
- untuk mainan anak-anak kecil
- dapat mengapung di air
Mengapa disebut perahu kurang asem?
Karena, daun yang ada di atas kapal bila dirasakan kurang asem
dan ada bekas premen (kurang asem yang ditempelkan)

Berkaca-kaca
Mengamati sekilas karya ketiga siswa tadi, Pak Ni ingat RPP yang sudah ia susun.
Bekerja lebih separuh umur, diri masih harus terus belajar. Astrea STAR 96
membawanya pulang ke rumah di desa. Melintasi hiruk-pikuk jalanan kota,
ada derai hangat air mata.
Anak-anak itu, "Horison yang selalu biru bagiku," kata Hartoyo Andang Jaya
dalam Dari Guru Kepada Murid-muridnya.
........................................................
*) oleh pak ni, di tepian mana sajalah, 2008






Kamis, 11 Desember 2008

karena lapar?

rumah pak ni


Hujan belum reda. Bentangan langit pucat, memucati segala. Dari sekolah, Lik Ni dibonceng Lik No (Suparno, S.Pd.).

Sekitar pukul 14.20 WIB, dia bisa sampai di rumah meski basah kuyub. Memasuki mulut gang menuju rumah - masih


bersama hujann, ia tenteng
kresek hitam menggembung. Isi kedalamannya
berdesakan: 2 kotak gede plus 1 kotak le-
bih kecil. Tentu, kotak-kotak itu berisi makanan - bisa
dipastikan di mana dibeli, dan kue-kue yang selalu ditemani
Aqua/Club gelas. Semua itu, diperoleh usai ditugasi sebagai
pengawas dalam pelaksanaan Tes CPNS Kab. Tulungagung, 2008.

Anak-anak tetangga bergerombol di teras rumah mereka.
Hujan memaksa anak-anak itu tak bisa bermain-main di luar
rumah. Orang tua mereka akan marah bila kawan-kawan kecil Lik Ni tadi nekat bermain dalam hujan.

"Itu, Pak Ni!" teriak mereka spontan bersamaan. Mata-mata
kecil tak lepas memandangi kresek hitam. Kegaduhan pun
berlangsung manakala kresek dibuka di antara pasukan kecil
yang siap menyerbu.
"Bagi. Jangan ada yang menangis," kata Lik Ni terus
ngeloyor menuju rumah. Air matanya hangat. Susah membedakan
mana air hujan mana air mata.

Temanku,
Alangkah besar rasanya hidup bila hati ta` gelisah.
Sore dalam hujan itu menggeletak sepotong gelisah. Betapa tidak,
di dapur Lik Ni tak bertemu nasi. Perut lapar bukan main, meski telah makan pagi di warung kecil nasi pecel bersama Lik No.
Tak hanya melilit-lilit, perutnya bahkan kembung. Istri belum pulang. Lalu, mengapa isi kresek hitam tadi dibagi-bagikan?
Itukah, sumber kegelisahannya.

Lik Ni coba melupakan lapar dan kembung. Dia mengepel.
Lantai teras kayak bekas kandang sapi. Bersiul-siul menye-
nandungkan sound track: Tujuh Pedang Pendekar - film Cina klasik, Indosiar tayang tengah malam.
Badan mulai berkeringat. Ajaib, lapar justru makin menguasai, kembung tak juga kempes. Masih bersama hujan, terde-
ngar riuh kawan-kawan kecilnya bernyanyi, bersama nasi
dan kue di pedalaman perut mereka.
**
William Saroyan (1908-1981) adalah seorang penulis dari
Amerika. Ia, terkenal berkat drama dan ceritanya tentang
manusia yang dapat menghadapi kenyataan hidup sangat buruk,
dengan tenang bahkan gembira. Dia pernah mengatakan, "Pa-
da saat kau hidup, hiduplah. Dengan begitu segalanya akan menyenangkan, dan tak ada lagi hidup terlalu buruk, atau kema-
tian atau bentuk duka lain yang dapat mengganggumu."
Karya-karya Saroyan menunjukkan dasar yang jelas akan kepercaya-
annya bahwa manusia pada dasarnya bersih. Cerita/dramanya
berkisah tentang kekagumannya pada mereka yang miskin,
yang dipermainkan nasib tetapi tetap tabah, jujur,
dan bersih hati(Cerpen Vol. 3, Pernikahan Kakakku,
Depdiknas, 2006:136).

Seekor Kuda Putih, satu cerpen Saroyan yang pernah
dibaca Lik Ni. Sayang, dia nggak bisa tenang bahkan gembira.
Apalagi tabah, jujur, dan bersih hati hanya karena lapar,
sore itu. Entah, sampai kapan.
....................
*) oleh pak ni, di tepi ladang jagung,
desember 2008