Rabu, 17 Desember 2008

Cerpen

LESUS DALAM WARUNG
Cerpen Beni Harjanto

Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus.

Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam,
siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya.


Bentangan langit pucat. Matahari sejak pagi disembunyikan mega-mega mendung. Jauh di belakang bubungan rumah-rumah jauh pada sela kerimbunan pokok pepohonan, kaki langit menghitam. Dari teras warung dekat hamparan sawah, kehitambiruan gunung mendominasi mata. Hujan rintik mulai menderas. Sami memarkir sepeda motor di teras warung itu bukan untuk berteduh melainkan makan pagi pada siang yang serupa pagi bahkan laiknya senja.


Lima orang membuat warung 3 X 3.5 meter itu terasa sesak. Yang bertelanjang dada sejenak berhenti menyuapi mulut ketika Sami masuk. Sami ditatapi, mengangguk lalu duduk.
“Sana angin, ya,” kata yang bertelanjang dada.
“Pohon sengon saya roboh, Pak. Dapur hampir kena,” balas Sami.
“Belum seberapa. Rumah-rumah hancur. Sana dekat kandang bus Dahlia.” Sami mengangguk-angguk. Lapar menguasai. Ia enggan menimpali apa atau mengatakan sesuatu yang lain.
“Ndak karuan. Bencana. Dulu disebut lesus, kan. Angin muter-muter itu, lho. Sekarang katanya puting beliung,” yang berkaos keabuan membuka mulut. Piring di depannya telah kosong.
“Tapi Amerika teliti. Di bawah lumpur Lapindo ada harta karun. Bakri itu orang terkaya di Indonesia,” kata yang berseragam kekuningan mungkin pegawai pemda atau perangkat desa. Sepatunya hitam mengkilat minus kaos kaki. Piring di depannya kosong. Botol-botol hijau kosong berdebu beberapa tak bertutup, toples kerupuk, juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik semua berbenturan satu sama lain di mata Sami. Ilusi Sami itu menegasi kemauannya untuk makin diam. Tidak saja di cakruk malam-malam ketika kawan-kawan di desanya ngobrol, di warung ini pun percakapan dengan mudah berganti-ganti topik tanpa konsekuensi apa pun.

“Pak Sam makan, ya?” muncul dari dapur Yu Dah bertanya. Sami tersenyum mengiyakan. Berbeda dengan senyum sebelumnya ketika sendiri sarapan di warung yang sama. Yu Dah tidak sesibuk hari ini. Perempuan paruh baya itu duduk di lincak seberang meja makan mengupasi bawang merah. Tak ada percakapan di antara keduanya. Tetapi entah mengapa, Sali dapat merasai bahwa makan kali itu tidak sekedar mengatasi lapar. Botol-botol kosong hijau berdebu menawarkan diri untuk diusapi. Toples menanti dibukai. Juga kerupuk dalam kantong-kantong plastik minta didengarkan keriuknya: ya, saat itu.

“Ayoh!” yang bertelanjang dada berdiri diikuti dua yang lain. “Teruskan, semua. Kami akan mengukur tanah,” tambahnya ramah bersemangat. Ketiga orang itu ke luar warung. Langkah mereka panjang-panjang mantap bersama hujan yang berubah gerimis. Memandangi ketiganya, mata Sami terpaku pada gerbang sekolah di seberang jalan. Tampak Al, istri Sami, berjalan cepat-cepat menuju warung. Keduanya memang telah berjanji untuk bertemu di warung Yu Dah setelah Sami dari BRI di kota. Di teras warung sebentar saja keduanya bercakap-cakap. Sami menyerahkan uang pada Al. Sami diminta segera makan dan diberitahu agar ia tidak membayar karena uang Al masih ada pada Yu Dah. Al segera balik ke sekolah masih bersama gerimis, masih ditunggu para siswa di dalam kelas.

“He, dibonceng?!” (terlambat) Sami meneriaki istrinya dalam hujan bukan gerimis. Menengok sebentar Al melambai dan senyum, berlari ke sekolah yang tak jauh dari warung Yu Dah. Seperti ketiga orang yang akan mengukur tanah tadi, istri Sami tampak bersemangat siang itu, di bawah hujan. Di bawah segebok uang? Sami masuk warung membawa pikirannya. Nasi sudah tersedia di meja berteman kopi, bersama kelebat semangat istrinya, hari itu, di bawah hujan.

“Istri sampeyan guru di SMP itu, ya,” tanya yang berseragam seperti yang dikenakan istri Sami tadi.
“Ya,” jawab Sami menekuni nasi di piring.
“Mana rumah sampeyan?”
“Jembatan Tinggi. Pasar sapi ke timur lurus.”
“Pekerjaan sampeyan?” Tiba-tiba nasi Yu Dah menjadi rasa lain. Mengapa warung tidak sepi saja. Sesekali sepi pembeli sepi kata-kata di warung Yu Dah, bagi Sami meramaikan kemungkinan-kemungkinan dalam pikiran.
“Tidak tentu, Bapak,” Sami kaget mendengar kata-katanya sendiri.
“Bagaimana itu, ya. Mana mungkin tidak tentu. Istri sampeyan kan guru!”
“Buat baju-baju,” jawab Sami menenangkan diri.
“Wah gede, ya.”
“Tidak juga, Bapak.”
“Bagaimana menjualnya, di mana pasarnya? Siapa yang membawa?” Sami mengeluarkan 76 dan korek api dari saku celana, “Kretek, Bapak.” Ia berharap agar pertanyaan-pertanyaan lebih jauh tentang dirinya dihentikan. Yang berseragam cepat-cepat merogoh kantong celana sendiri, mengeluarkan Surya kemudian menyulut.
“Baju-baju apa saja?” di balik kepulan asap rokok yang berseragam itu tajam memandangi Sami. Yu Dah laiknya mesin fotokopi ulang-alik antara dapur dan warung. Lewat kotak lubang pada triplek penyekat dua ruang sempit dalam warung itu, sesekali mata Yu Dah menajami Sami.
“Bapak bekerja di mana?” Sami coba balik bertanya.
“Saya guru.”
“Wah kebetulan, Bapak.” Tiba-tiba Sami merindukan kesenangan yang sama sekali tak pernah dilakukan. Nunggang kuda misalnya, atau nangkring berlama-lama pada pokok pepohonan, atau berada di bak truk tua yang mengangkut muatan jauh menyeberangi selat tanpa diusir awak kendaraan itu …. Atau apa saja, asal yang sekali pun belum pernah dialami itu menyenangkan. Menggelandang bersama truk tua, jauh dan tolol dari perkara pernik-pernik kerumahtanggaan mendadak muncul sebagai pilihan serampangan Sami.
“Begini … istri saya itu, lho. Akhir-akhir ini petang baru pulang. Sering hingga malam di depan komputer, lalu menumpuk, membongkar mencari kertas-kertas. Segebok, tebal. Eh … tiga atau empat gebok, Bapak.”
“Itulah sertifikasi! Harus sekolah S1. Nanti lolos terima tunjangan profesi satu kali gaji. Memang begitu, harus sibuk,” tampaknya ceramah mulai mendaulat.
“Sertifikasi?”
“Tidak salah! Sampeyan harus mengerti. Istri sampeyan pasti sibuk.”
“Ia tak sempat memasak. Saya tidak makan di rumah, Bapak.”
“Begitulah akibatnya. Istri sampeyan itu menyiapkan administrasi. Kami berdua dapat bandeman lima puluh ribu dari teman yang sudah lolos. Ia baru terima empat juta lebih,” yang berkaos keabuan berbicara.
“Administrasi, Bapak?”
“Benar. Sampeyan tak paham. Kalau saya belum ikut. Nasib sajalah. Temanku yang lolos itu sebenarnya kalah bobot denganku. Dia itu tidak berani mengajar kelas VI. Saya yang mengajar. Ya sudah, nasib saja,” yang berseragam seperti masih ingin memuntahkan isi benak dan pedalaman hati. Kepala Sami berdenyut.

“Jadi peserta sertifikasi itu tidak gampang. Menemui orang-orang tertentu di atas. Main serobot hak orang. Pesan agar dibuatkan perlengkapan. Kalau dalam pekerjaan sampeyan itu dijahitkan namanya. Macam-macam caralah. Tak sedikit uang dikeluarkan peserta,” yang berkaos keabuan tertawa-tawa. Yang berseragam tertawa-tawa. Tak hanya geram dan pusing, Sami kaget. Klakson colt diesel memekakkan telinga tepat di depan warung Yu Dah. Dalam kabin pengemudinya tertawa, melambai-lambai. Hujan reda. Di luar warung yang berkaos keabuan dan yang berseragam masih tertawa-tawa. Tak berapa lama, deru motor mereka melemah jauh di barat di jalanan persawahan meninggalkan sisa tawa-tawa yang menyakitkan Sami. Kelengangan warung dikuasai hujan yang menderas lagi.
*
Selama ini Yu Dah tidak banyak berkata-kata bila Sami singgah di warungnya. Perempuan sintal itu hanya tersenyum kemudian menyodorkan nasi lalu kopi selanjutnya diam duduk menemani di seberang meja atau menyibukkan diri di dapur warung. Tentu, Yu Dah tersenyum jika Sami diketahui memandangi. Kali ini tidak begitu.

“Ditanyai baik-baik kok menipu. Pak Sam itu bagaimana. Dia tadi pak guru Bardi. Temannya juga guru. Pak Sam sendiri guru,” kata Yu Dah. Bak petasan cabai rawit, kata-katanya hanya meledak-ledak kecil dalam hujan yang makin menderas menjelang sore itu. Sami tahu Yu Dah tidak benar-benar marah.
“Saya katakan apa adanya nanti. Dengan sesama guru kok bohong,” Yu Dah menggoda. Mata memandang ke atas bersamaan dengan kepalanya yang bergoyang ritmis ke kiri kanan: lembut kayak gerak-gerik ASIMO, robot humanoid mirip manusia yang dikendalikan teknisi Honda asal Thailand.
“Sungguh. Tolong, Yu. Jangan ceritakan siapa aku kalau mereka ke sini lagi,” balas Sami menahan gejolak hati lama dipendam.
“Kapan-kapan, kuberitahu mengapa tadi berbohong,” gemetar Sami berdiri mengulurkan uang.

Tampaknya, Sami – juga Yu Dah, lupa pada pesan Al bahwa ia tak perlu membayar. Tangan menerima uang tak dilepaskan. Guruh menggelegar tak mampu memberikan peringatan apa pun justru menggoyahkan gejolak yang hendak dipadamkan. Lihat, butir-butir hujan mulai mendesahi bara di tungku dapur melalui genting yang rembes. Dari lubang tungku asap putih meliuk. Sekejab lenyap ke mana. Pucuk pepohonan berputar-putar mengikuti hempasan angin. Satu-satunya jalan di depan warung itu sunyi. Setan bermain-main dalam sepi.
“Yu ….”
“Ah … Pak ....”
“Yu ….”
“Pak … Paak ….”
“Uang … Bu Al, masih ada,” kata Yu Dah tersendat.
Mendengar nama istrinya, Sami tersentak. Ada kelebat istrinya dalam hujan, melambai dan tersenyum: Al yang selama ini percaya kepadanya, di mana atau kapan pun Sami berada.
Bara-bara menganga belum sempurna padam oleh tetesan dari atap dapur warung ketika kedua manusia yang berdiri itu tidak lagi saling merapatkan tubuh.
“Aku pulang!” Sami bergegas meninggalkan dapur warung. Yu Dah memburu hingga di pintu depan warung sambil membenahi kancing bajunya.
*
Sami memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Samirono. Sarjana pendidikan ini lolos sertifikasi guru gelombang pertama (2006) tanpa `menjahitkan`. Tanpa kebanggan meski tunjangan profesi dua juta sekian telah diambil dari BRI kemudian diterimakan istri di warung Yu Dah. Baginya sertifikasi guru harus utuh dalam pemahaman, objektif dalam proses maupun pelaksanaan. Sami marah entah karena ucapan Yu Dah tentang uang Al atau ucapan Bardi dan temannya mengenai sertifikasi guru.

Memasuki jembatan hujan tambah menderas. Meski tidak memandang ke bawah, tak urung mata Sami terbawa pada permukaan arus air di bawah papan geladak jembatan lebar 1.5 meter, keruh coklat menggelegak. Ia pacu lagi motornya yang menerbangkan dalam ayunan di atas permukaan air. Ia memahami betul seluk-beluk jalur ini. Tidak jarang Sami mengantar kadang menjemput Al. Jembatan gantung itu harus dilalui bila ingin lebih hemat waktu dan bensin.

Pada umur setengah abad, masih tampak keterampilannya mengendara. Hal itu terbukti kemudian ketika ia akan mengakhiri panjang jembatan. Tanpa mengurangi kecepatan, Sami menikung tajam ke kiri setelah sedikit mengambil haluan kanan. Roda depan masuk kubangan di pojok kiri luar jembatan. Sami muncul dari semburan air masih dalam kecepatan penuh, bersama jengkel, dan marah masih entah kepada siapa atau karena apa. Bercak lumpur melekati mika helm di balik mata. Celana pendek, kaos oblong masih meneteskan air hujan hingga ia berhenti di mulut gang menuju rumah. Hangatnya sisa air mata juga masih dirasai. Kemarahannya mulai terkendali begitu mengetahui kenyataan di depan mata.

Sami berlarian ke rumah-rumah tetangganya yang rata dengan tanah. Semua selamat. Mereka bergerombol lagi saling membisu setelah disalami Sami. Al meloncat turun dari boncengan sepeda motor temannya tepat pada saat Sami hendak berangkat menyusul. Ia segera memburu istrinya.

“Semua selamat!”
“Sana juga. Anak-anak dipulangkan. Sekolah nggak kena. Warung Yu Dah terbang. Mudah-mudahan ia pulang awal ….” kata Al terbata-bata. Suami istri itu kemudian mengitari rumah sendiri yang sudah tak beratap. Al tidak berkata apa pun. Sami merenung. Mereka diam. Hujan reda menyisakan kegaduhan lalu lalang orang-orang yang berdatangan dalam remang. Adzan Maghrib menggema.

Pagi hari koran lokal memuat puting beliung yang menyapu dua desa. Puluhan rumah porak-poranda, pohon-pohon besar bertumbangan, sebuah warung diterbangkan. Hingga kemarin, tulis berita itu, belum diketahui adanya korban jiwa. Beberapa warga sempat dilarikan ke RSUD kota karena luka ringan dan patah tulang.
Tidak seperti biasanya, dalam hard news tadi – yang sudah-sudah cenderung tersusun dari unsur 5 W + 1 H, kali ini setelah ekor berita ditambahkan, “Angin delapan penjuru memang telah mengamuki dua desa itu. Menerjang mungkin yang lolos maupun tidak lolos dalam sertifikasi guru. Siapa saja, lesus tahu, manusia sudah bertingkah sekedar mengikuti selera pedalaman hati masing-masing. Sebuah pedalaman aman tak tertembusi yang ternyata hanya berujung pada kepentingan pribadi, sepele dan sesaat.” Tak ada yang mengetahui juga Al, bahwa yang menambahi adalah huruf-huruf dari pedalaman hati Sami sendiri.
*
Siang itu mentari makin terik. Semenjak lama sakit-sakitan, baru sekali itu Warnu berada di warung. Selebihnya, ia menjaga rumah. Dengan sisa tenaga Warnu memaksakan diri mengurus beberapa ekor unggas: itik, entok dan ayam. Sayur-mayur ia tanam di pelataran rumah serupa gubuk yang dipanjangkan oleh kandang-kandang. Bagi Warnu, yang ia saksikan hari itu justru menguati keyakinan diri bahwa Gusti memang Maha Pengasih.

“O, Gusti … paring selamat,” gumamnya, meski warung kecil satu-satunya andalan sumber kehidupan tinggal reruntuhan. Serpihan genting, kayu, sisa-sisa potongan bambu berserakan menumpuk di atas tungku dapur warung. Yang masih dapat digunakan dengan hati-hati diambili satu-satu, potong demi potong. Keringat mengguyur sekujur tubuh kerontang lelaki tua itu. Sebentar-bentar ia batuk.

Sumidah baru saja duduk istirahat di tanah lembab. Sambil merenung, ia membayangkan bagaimana jadinya andaikan tidak cepat pulang ke rumah. Biasanya, dekat Mahgrib warung tutup. Sore itu, diburu ketakutan sepeda dikayuh sekuat tenaga menembusi gerimis dan angin ribut. Pintu dapur warung pun tak sempat ditutup. Lalu, mengapa Pak Sam dengan muka merah padam bergegas meninggalkan warung? Sumidah masih larut dalam renungan ketika Warnu, berteriak parau memanggil.

“Kang!” Sumidah cepat bangkit mendekat. Ia khawatir kalau-kalau suaminya itu luka kena paku atau lancipan lain.
“Apa kataku, Idah. Kalau sudah tidak dipakai, jangan kamu jadikan gombal,” Warnu memperlihatkan celana dalam yang ditemukan dekat mulut tungku dapur. Ia yakin bahwa temuan lusuh itu bukan milik orang lain. Pasti, Sumidah yang punya.
“Untung tidak kamu bakar. Tak baik. Simpan atau pendam di belakang rumah. Bencana. Beginilah jadinya.” Dari tangan Warnu, lunglai Sumidah menerima kain tipis kumal hitam berenda yang dikenakan kemarin. Di antara beribu kunang-kunang, ia melihat lesus. Hitam menyeringai dengan taring-taring tajam siap menerkam lagi: diri dan sisa puing warungnya. (awal Maret 2008)

Tidak ada komentar: