Sabtu, 20 Desember 2008

Tiga: MENENGOK JEDOR SOBONTORO




FILOSOFI MBAH RI *)

Sederhananya, ilmu pengetahuan itu bertujuan mencari kebenaran yang benar-benar benar, betul-betul betul secara akal (rasio): bukan menurut perasaan apalagi selera. Kebenaran menurut akal itu nggak bisa mutlak, tidak seratus persen benar (benar-benar benar). Capaian kebenarannya sebatas mendekati (probality). Plato, Aristoteles misalnya, adalah pemikir-pemikir ulung. Mereka itu filsuf, ahli filsafat yang mengembangkan akal menggali kebenaran, pada zamannya. Kebenaran menurut akal yang mereka kembangkan itu disebut filsafat ilmu (ilmu pengetahuan).


Filsafat, dari phylos yang berarti cinta, dan shopia yang bermakna kebijaksanaan. Gampangnya, ilmu pengetahuan itu mencintai yang benar-benar – bukan sekedar benar, menurut akal manusia.

“Takada janji tepat kecuali janji matahari untuk terbit pagi hari,” adalah satu contoh kata-kata produk filsuf, lazim dikenal dengan kata-kata mutiara. Pernyataan tsb. benar-benar benar, betul-betul betul. Mentari, sekali pun nggak pernah ingkar janji. Ia pasti terbit pagi hari. Tak bakal mbangkong kayak bangsa kodok. Pasti, meski mega mendung menutupi, walaupun hujan kelewat deras, sang surya tak bakal bohong terbit, kecuali kiamat.


Ada contoh lain.
“Halus sikap Tuhan, tetapi tidak memendam kebencian,” Albert Einstein.
“Gunakan cahaya dalam dirimu, untuk meraih pandangan alamimu yang jernih,” Lao Tzu.


Satu lagi.
Ontong bisa kempes,” Muyoto.
Muyoto (56), warga Sobontoro, itu presiden Karyo Wantah (KW). KW, tak lain dari salah satu paguyuban kesenian jedor yang ada di Sobontoro, generasi ke sekian. Lik Ni, sejak awal KW berdiri (1994) mendampingi klub kesenian tradisional yang berbasis pembelajaran nonformal itu. Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan di Karanggudhe, Sobontoro, berdiri tak lepas dari rintisan kawan-kawan yang tergabung dalam KW.


Ontong, bunga bakal buah pisang. Bisa kempes. Jadi, ia gagal capai cita-cita menjadi buah pisang,” presiden KW tadi mengurai saat kami istirahat belajar nuthuk jedor. Masiih menurut Kang Muyoto,“Kita bangsa manusia ini jangan kemlinthi. Bisa kempes seperti ontong. Terhadap sesama apalagi terhadapTuhan, kita jangan sombong.” Mari, kita belajar tiada henti biar tak kempes. Kita manusia bukan ontong. Barangkali, itulah pesan Kang Muyoto. Bangsa manusia dibandingkan dengan bangsa ontong: benar-benar benar?

Master
Mbah Ri (Kuseri, 70) lain lagi. Beliau ini petani. Petani penggarap bukan petani berdasi. Habis disunat, bersama Sadeli (71) ikut Mbah Sodjo (almarhum) ke mana pun jedor diundang orang berhajat. Jedoran keliling bulan pun, Kuseri-Sadeli pasti numpang. Dulu, saat Sobontoro berawa, Kuseri muda hanya duduk mendekati pengendang jedor dalam jedoran yang diketuai Mbah Sodjo. Mata Kuseri tak mau lepas dari ulah tangan kanan kiri pengendang. Kupingnya, bergerak-gerak menyimak lantunan syair jedor. Semangatnya, adalah detak jantung belia yang bergairah. Tampaknya, Kuseri meneliti. Lama-lama, ia diajari memainkan gendang jedor bila jedor Mbah Sodjo nuthuk di kombong dhewek manakala sepi orderan. Kini, Mbah Ri menjadi master gendang jedor tiada tanding, setidaknya di Sobontoro.


Mbah Ri Bukan Filsuf
Mbah Ri bukan filsuf apalagi Muyoto. Jelas, Kuseri tidak mengerti apa itu filsafat: induk segala macam ilmu pengetahuan yang kini berkembang pesat: pecah-pecah spesifik menjadi beragam spesialisasi ilmu pengetahuan canggih. Tentang bunyi jedor laiknya filsuf, Mbah Ri - panglima gendang jedor tadi, mengurai sebagai berikut.


“Tipung lanang berkulit lembu. Tipung wadon berkulit kambing. Kulit lembu lebih kuat daripada kulit kambing karena lebih tebal. Jadi tipung lanang itu lelaki, yang lebih kuat. Sedangkan tipung wadon adalah perempuan. Bunyi tipung lanang kan lebih rosa (nyaring) dibanding bunyi tipung wadon. Itulah suami istri.”

Malam itu memang lagi istirahat nuthuk (membunyikan) jedor. Sebelas kawan generasi penerus (Muyoto, dkk.) sedang belajar memainkan musik jedor. Muyoto memainkan gendang. Suparno belajar nuthuk kempyang. Paidi belajar ndhalang sambil memainkan terbang, Surani belajar menjadi bek, Muryadi memukul jedor. Sugianto dan Mugiono masing-masing belajar nuthuk tipung lanang dan wadon. Yang lain belajar sauran. Semua kader – individu KW itu, dibina Tim Sukses LIER (Sadeli-Kuseri).
Jedor LIER yang diketuai Sadeli, dijamin bisa membuat orang liyer-liyer, mengantuk nyaman karena buaian semilir angin. LIER, unggul suara dalam kancah perjedoran, dulu sebelum Mbah Li pelo dan Mbah Ri sakit-sakitan. Liyer-liyer seperti kartun Romo Koko, kartunis pemerhati masalah sosial (htpp: //www.romokoko.com).


Sepasang `suami-istri` dilanjut Mbah Ri. Tak berdaya, Muyoto, dkk. singlu (sunyi, terkesan menakutkan) menyimak.

“Ya, suami istri. Itu mula kehidupan. Agar hidup damai tenteram, maka di-kempyang-i (diubyuki: didukung, diramaikan, diguyubi). Oleh karena itu, setelah bunyi tipung lanang dua kali dan satu kali bunyi tipung wadon, segera disusul bunyi kempyang. Di-kemyang-i biar suami istri akur (accord) kadya mimi lan mintuna, kayak Tom and Jerry, Mendut-Pronocitro, kalong dan buah gempol yang pohonnya banyak tumbuh di Sobontoro, bekas medan berawa. Tidak saja di-kempyang-i, juga di-terbang-i supaya rumah tangga laju bak bus Patas (Cepat Terbatas). Semua itu diiringi, digiring menuju penaking urip bebrayan oleh gendang. Akhirnya, barulah diklik Yes oleh jedor: diamini, agar Gusti Pangeran, Allah SWT, mengabulkan bisa beranak pinak sluman-slumun-slamet ndonya ngakerat.”

Harmonisasi
Entah acuan (referen) mana digunakan Kuseri menelusuri keenam perangkat jedor (tipung lanang dan wadon, kempyang, terbang, gendang, dan jedor) simbolis dinamika kehidupan sepasang suami istri. Boleh jadi, hal itu bermula dari rerenungan tetua jedor pendahulu, disampaikan lisan kepadanya: dari mulut ke mulut (dari mulut ke telinga, kan) ketika budaya baca tulis masih langka.


Yang jelas, yang dikemukakan Kuseri tak lain dari harmonisasi bunyi seluruh perangkat musik jedor. Keenam perangkat akan memperdengarkan pesona musik ritmis jedor, padu dengan syair yang dilantunkan bilamana dibunyikan benar-benar benar: sesuai dengan tetua pendahulu memainkan musik jedor. Faktanya, baik Mbah Li maupun Mbah Ri tak pernah mengatakan harmonisasi apa pun, hingga kini.

Istirahat dicabut. Dicermati Kang Paidi, Mbah Li mulai melantunkan syair jedor berikutnya, “Gendhung awal-awal. Maole gendhung yola awalake, yola. Yola gendhung lamun sinandhung ….” Bintang-bintang masih kemerdip meski dicerai kelam. Angin musim kemarau ringan mengangkuti kelembaban udara. Malam menyelimuti warga Sobontoro yang pulas maupun jaga, dalam buaian pesona jedor.
……………………………….........................
*) oleh lik ni, yang di tepi, desember 2008)

Tidak ada komentar: