Sabtu, 24 Januari 2009

2005

BIAS DARI KARANGGUDHE:
Reflleksi Peran Serta Jedor `Karyo Wantah` Merespon Lingkungan
(mengubah blumbangan menjadi Pasar Krempyeng)

"Pemanfaatan sebuah blumbangan agar bernilai sosial-ekonomi, merupakan
satu upaya yang pernah dirintis sekelompok orang di Dukuh Karanggudhe, Desa Sobontoro,
Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jatim.
Dipastikan, upaya itu bukan didasari oleh pembelaan terhadap lingkungan hidup dekat mereka tinggal.
Komunitas Jedor `Karyo Wantah`, yang puluhan tahun pernah hidup di medan berawa ini,

tidak mengenal UURI No.4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Upaya mereka itu juga tidak diatasnamakan sebagai
`perjuangan menuntut hak atas lingkungan yang baik dan sehat` .
Sedangkan kewajiban berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup,
dilakoni begitu saja antara lain ketika mereka ikut beramai-ramai kerja bakti massal, jedoran, jaranan,
sambatan mendirikan rumah tetangga, `wajib mbecek` saat yang lain berhajat, mengunjungi yang sakit,
melayat yang meninggal,
atau sekedar memberikan wul bagi biaya Agustusan."



Jedor Karyo, 1994 - 1995
Hingga masa pendudukan Jepang berakhir di Indonesia, Sobontoro masih termasuk daerah
pertanian dengan aneka hasil bumi cukup melimpah. Bukan saja padi dan palawija,
kelapa pun dipanen. Konon, kesejahteraan desa salah satunya tampak
dari puncak-puncak pohon kelapanya.

Sebagian besar wilayah desa yang tidak lebih dari 2 Km arah selatan Pusat Pemerintah
Kabupaten Tulungagung, Jatim ini, pernah berubah total menjadi medan berawa termasuk Karanggudhe.

Tidak saja Sobontoro, desa-desa lain sewilayah Tulungagung utamanya yang sering dilanda banjir musim penghujan, waktu itu, hampir sama keadaannya: berawa.

Tulungagung `bebas banjir` tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, di Karanggudhe berdiri
Paguyuban Seni Jedor `Karyo Wantah` (kemudian lebih dikenal sebagai Jedor Karyo).
Tidak semua warga Jedor Karyo – kini tinggal 12 orang, memiliki kesadaran bahwa
paguyuban seni mereka itu berposisi sebagai pintu masuk (entry point) bagi pemecahan
atas persoalan kehidupan nyata sehari-hari yang menguasai. Meski demikian belajar mengenali masalah, merumuskan, bertukar pikiran bagi pemecahan masalah, selalu berlangsung saat istirahat-sementara nuthuk jedor.

Akumulasi dari kemauan untuk survival lewat memanfaatkan semua isi kandungan medan rawa, dulu,
dengan segala perubahan yang ada serta dirasai kini, adalah pengalaman nyata yang mudah digali
bagi `dialog` atas lingkungan hidup yang mereka hadapi. Meski `dialog` jauh dari kritis cenderung
naratif-romantis setidaknya berbekal pengetahuan alamiah, mereka terus belajar bersama
menanggapi tantangan-tantangan lingkungan dekat mereka tinggal.

*
Dua kali cangkulan kedalaman tanah berpasir, dimaklumi sebagai sisa endapan rawa bertahun-tahun.
Sawah desa di timur Karanggudhe pecah-pecah pada musim kemarau, “Kelak habis dimakan perumahan,” mereka memperkirakan. Air saluran pengatus di bagian utara mbludag tiap musim penghujan,
disimpulkan: dasar buk (jembatan – yang oleh warga sekitar dikenal sebagai Buk Dhuwur) terlalu tinggi, menghalangi kelancaran arus. Nyamuk, bau busuk, sampah menumpuk pada lubang buk, semua yang muncul berikutnya itu
diatasi lewat kerja bakti sebelum musim penghujan tiba. Sedangkan aneka ikan lokal termasuk
belut selengan bayi – yang dulu melimpah, ludes ditangkapi baik dengan strum, putas, atau lainnya tanpa dibiakkan.

“Kawan-kawan pencari ikan itu juga butuh makan,” komentar mereka.

Mereka menceritakan bahwa tiap menjelang senja, kerimbunan bambu ori diputihkan ribuan bangau.
Sedangkan belibis, jowan, aneka jalak, branjangan, manyar, kepodang, dekuku, perkutut, kacer,
kutilang, pipit, gelatik, kruwok, pitikan, sikatan, minus burung gereja, “Berani bersarang dekat rumah.
Rumah gedhek srotong rong empyak. Bila rawa pasang, perahu masuk rumah lewat ampik-ampik bolong. Yang limas tembok hanya rumah guru Barsi (almarhum).”
Sambil menunjuk-nunjuk, “Dulu di situ bambu ori. Sana. Sana: tempat gandarwa,” demikian
warga Jedor Karyo mudah berganti-ganti topik pembicaraan. Jangankan membiakkan,
menanam pohon kelapa orang tak sanggup. “Begitu bibit tumbuh, cepat atau lambat bakal
mati lanas disergap kwangwung,” tambah mereka. Hingga kini, mayoritas warga
Dukuh Karanggudhe bahkan Desa Sobontoro,
tak mau menanam bibit kelapa.

Produk pedagang kecil Karanggudhe seperti: nasi pecel, tahu lontong, getuk, ketela-jagung rebus,
ireng-ireng, cepura, sompil, samplok, gempol, kicak, cenil, lopis, gatot-tiwul, peyek aneka kacang,
wedang ronde, wedang kopi, jamu empon-empon, sayur kangkung, semua itu sebagian besar masih
dijajakan; di rumah, berkeliling, mangkal di pasar kota (Pasar Wage) atau di depan terminal bus
maupun di tempat tertentu lainnya. Berbagai bantuan pemberdayaan ekonomi masyarakat, waktu itu,
hancur oleh penerima pengguna. “Ya, biar. Wong untuk makan. Perbaiki rumah,” mereka berujar.

Mustahil coba berbuat (action) konkret atas semua tantangan kehidupan yang ada waktu itu.
Karenanya, mereka lebih banyak berkata-kata, tertawa-tawa. Kata-kata saja memang tak berdaya ubah.
Meski begitu, mereka tampaknya dapat menikmati `dialog` sela jedoran sebagai cermin kebutuhan guyub. Sebuah kebutuhan yang
terpelihara justru ketika tanah dikuasai rawa, dulu.
*

Karanggudhe, 1994
Sepuluh tahun lepas dari kungkungan rawa, memperlihatkan fenomena persaingan yang
diam-diam menajam atau ditajamkan oleh perbedaan perolehan kebutuhan dasar hayati di antara warganya. Kebutuhan-kebutuhan yang tak mungkin dijangkau ketika hidup di medan berawa, kini mendesak-desak isi tempurung kepala menembusi hati mereka. Penerangan listrik, sepeda motor, tv berwarna, rumah tembok berlantai porselen dengan jendela berkaca, mebelair dari toko kota, aqua, VCD, kulkas,
makanan minuman instan, peralatan dapur berlistrik mulai diincar. Pagar hidup beluntas sudah
dipandang tak pantas. Seni tradisi Jaranan Jowo, Reog, tenggelam kalah populer dibanding
Jaranan Sentherewe bermusik dangdut plus goyangan bokong diseling gending-gending campursari.
Semua itu mengabaikan kebutuhan pendidikan termasuk pendidikan anak-anak,
kesehatan, kualitas makanan, maupun pola kerja.

Sejarah manusia sebenarnya merupakan sejarah tanggapan manusia terhadap
tantangan-tatangan lingkungan, baik itu berupa lingkungan biofisik, lingkungan binaan,
maupun lingkungan sosio-politik (Kaligis. dkk, 1994/1995). Tanggapan ini beragam dengan respon
berbeda-beda. Menghadapi fenomena perubahan lingkungan Karanggudhe pascarawa,
warga Jedor Karyo tak mampu berbuat apa. Mereka hanya mampu merasai seperti tercermin
dari kata-kata mereka. Misalnya, “Nyambut gawe saya angel. Penyakit rena-rena.”
Kemudian disambar gelak tawa yang lain, “Matiya ae!” Sejak itu jika berpapasan antarteman
entah sambil mengayuh becak di jalanan kota, di sawah saat menyabit rumput,
selalu ada yang berteriak tertawa keras, “Matiya ae!” Hingga kini warga Jedor Karyo itu masih hidup.
*

Agustus 1995
Jedor Karyo mengusung pentas panggung dengan tajuk Buk Mampet (BM).
Keberadaan saluran pengatus bagian utara – yang mbludag tiap musim penghujan,
dipresentasikan melalui monolog, dialog lugas para pelaku pentasan. Dalam bulan dan tahun yang sama,
Orang-orang Banjiran (OB) dipentaskan di Taman Budaya Solo (TBS) lewat fasilitasi Moelyono, seniman Tulungagung lulusan ASRI – ISI Jogya, 1985. OB berupa sketsa kehidupan Karanggudhe
menjelang-pada saat-sesudah digenang rawa.

Beberapa bulan setelah BM dipentaskan, pihak Pemda Tulungagung memperbaiki saluran pengatus utara Karanggudhe. Meski dasar buk belum diubah ketinggiannya, perbaikan itu sempat menimbulkan `heboh`. Masyarakat menganggap bahwa perbaikan terjadi akibat BM dipentaskan Jedor Karyo.
Anggapan yang salah itu justru menumbuhkan percaya diri warga Jedor Karyo dalam
berinteraksi dengan fakta keseharian yang melingkungi lewat praksis seni paguyuban mereka.

Sementara itu rekonstruksi sepenggal kehidupan yang dipresentasi lewat OB di TBS,
menguati pengetahuan alami mereka bahwa `apa-apa di sekitar mereka itu berubah`.
Café marak di mana-mana. Bola sodok disertai perempuan-perempuan bercelana ketat.
Jaranan campursari laris dilengkapi kerusuhan penonton. “Aja terus sak bathok ngorok (jangan terus
tidur begitu mendapat hasil kerja – yang sedikit (sak bathok: sebelahan tempurung kelapa).
Alame wis owah gingsir,” satu saat ketika istirahat nuthuk jedor. Yang lain berteriak
melihat bintang jatuh. Berkas sinarnya membuat terang sekejab di langit sana.
Istirahat – yang sementara tadi, dicabut. Alunan musik jedor merambahi malam manakala
Karanggudhe pulas.
*

Karanggudhe, 1996 – 1999: Merintis Pasar Krempyeng
Fakta di negara-negara Dunia Ketiga, perencana dan pembangun pasar yang sebenarnya
adalah rakyat jelata (Mc Auslan, 1986). Mereka merintis, membangun pasar di mana saja ada
kemungkinan melakukan kegiatan ekonomi: entah di atas tanah `yang tidak dipakai`,
pada tepi-tepi jalan raya, di daerah perbukitan bahkan di atas rawa-rawa. Pembangunan pasar
semacam itu sungguh merupakan cara `yang liar` memunggungi peraturan yang ada dan kesehatan,
mengabaikan rencana induk (master plan) buatan para perencana tataruang pemukiman,
juga bisa melanggar UU No.4/1982.

Sering terjadi pembangunan pasar oleh rakyat jelata tanpa rencana ke depan dan tidak
terkontrol tetapi seringkali justru memenuhi kebutuhan nyata mereka. Keadaan yang demikian itu
bukan tanpa konsekuensi, antara lain: mereka tidak mengetahui apakah akan digusur atau tidak
oleh karenanya mereka tidak melakukan penataan, perbaikan, hingga lingkungan berkembang
serampangan. Jika bangunan mereka dibongkar, dipindahkan, keributan yang tidak manusiawi pun
tidak jarang berlangsung.

Tidak saja Ketua jedor Karyo, Muyata – yang sejak kecil ikut simboknya berjualan sayur-mayur
di pasar dekat kota, mayoritas warga Jedor Karyo – tanpa claim diri, memiliki pengetahuan
tentang siapa perintis pasar yang sesungguhnya itu. Tentu saja, pasar-pasar yang berlokasi dekat
mereka tinggal. Peristiwa pembongkaran, pemindahan pasar yang terjadi di Kabupaten
Tulungagung pun tidak jarang menjadi bahan `dialog` saat sela-istirahat nuthuk jedor.


Blumbangan dekat Karanggudhe dipilih untuk dirintis menjadi Pasar Krempyeng.
Hingga tahun 2002, tanah kas desa bekas SD Sobontoro itu tidak difungsikan. Warga Jedor Karyo
merespon sebagai tanah `yang tidak dipakai`. “Eman-eman. Orang membuang sampah di situ,” kata mereka. Pasar Krempyeng di lokasi blumbangan (26 m X 21.30 m) diperkirakan kelak akan rejo.
Letak yang di tepi jalan, beberapa usaha yang telah ada (warung, toko, pracangan, bingkil sepeda)
dekat lokasi, dianggap mendukung fungsi pasar. Sedangkan Pasar Krempyeng, diketahui mereka
sebagai pasar yang cocok bagi pedagang kecil Karanggudhe dengan makanan-minuman khas
produk keseharian yang telah lama digeluti.

Pasar Gratis Karanggudhe (PGK) Agustus 1996
Respon, perkiraan, anggapan maupun pengetahuan terkait dengan harapan adanya
Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan, tak lain wujud perenungan mereka terhadap
dinamika lingkungan Karanggudhe yang dilihat, dirasai, maupun dihadapi. PGK Agustus 1996
yang digelar, adalah ekspresi perenungan bentuk praksis berkesenian dari proses `dialog`
saat-saat istirahat-sementara nuthuk jedor. `Dialog` sela itu memang jauh dari kritis
cenderung naratif-romantis tetapi tak jarang merepresentasikan realitas sekitar yang mereka hadapi.

PGK Agustus 1996, diharapkan berfungsi menjadi media inspiratif bagi berdirinya
Pasar Krempyeng, sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan.
Melalui media PGK Agustus 1996, lokasi bekas blumbangan yang dipilih diharapkan
menjadi perbincangan banyak orang. Mereka berusaha agar para pedagang kecil Karanggudhe berkumpul, berbincang-bincang mengenai berbagai kemungkinan jika kelak berjualan di Pasar Krempyeng. Pendeknya dengan PGK Agustus 1996, warga Jedor Karyo berupaya dapat menjaring aspirasi bagi perencanaan pembangunan pasar di lokasi bekas blumbangan.

Sepuluh pedagang kecil Karanggudhe masing-masing dibantu Rp 5.000,00 bagi pembuatan
makanan-minuman lokal yang biasa mereka jajakan sehari-hari. Bantuan itu berasal dari pihak
Jedor Karyo yang diperoleh dari kumpulan uang hasil melayani jedoran ketika orang berhajat: tingkepan,
bayen, pitonan, khitanan, maupun orang melepas nadar. Di samping itu, Jedor Karyo menyiapi dimar sewu berminyak tanah dengan jarak tertentu pada tepi kanan kiri jalan umum sebelah utara Karanggudhe.
Di bawah tiang-tiang bambu bentuk T tempat dimar sewu, pedagang kecil tadi mangkal.
Mereka `menjajakan` produk khasnya secara gratis bagi warga Karanggudhe.

Ambin pelupuh, beragam meja dan lincak maupun perlengkapan lain diurus sendiri oleh para
pedagang kecil beserta sanak keluarga mereka. Para istri dan anak warga Jedor Karyo `berjualan`
di gubuk-gubuk daun tebu kering (welit). Jerami-jerami bekas panen padi tanam pertama, diuntai
sebagai umbul-umbul menjulang di sela Merah Putih yang terikat pada batang tebu.

PGK II Agustus 1997
PGK II – Agustus 1997, digelar atas permintaan masyarakat. Makanan dan minuman gratis melimpah.
Tidak saja produk khas pedagang kecil Karanggudhe, aneka roti, bakso, buah-buahan, jagung bakar,
krupuk bersambal hadir di sini. Semua itu dari kesukarelaan masyarakat termasuk teknik
penyelenggaraan: dari-oleh-dan untuk masyarakat, kecuali dimar sewu. Jedor Karyo menyiapi dimar sewu dengan jumlah yang berlipat-lipat sejumlah `pedagang` yang hadir. Untung dimar sewu bekas
PGK Agustus 1996 yang disimpan, masih dapat difungsikan.

Tidak beda dengan PGK pertama, yang kedua itu pun tidak memenuhi harapan atas fungsi
digelarnya PGK. Suasana gempar mewarnai Agustusan yang dipadati massa. Deretan sumbu dimar sewu mengatasi kegelapan akibat kerumunan `pembeli`. Mereka tidak mengantri, berdesakan, dorong-mendorong, menjerit tertawa berebut makanan-minuman gratis ditingkahi alunan musik Jedor Karyo. Ketika istirahat-sementara nuthuk, saat `pembeli` hilir mudik sambil makan minum, beberapa orang
tersenyum-senyum menyalami individu Jedor Karyo. Seorang nenek mendekat, “Le, jajane entek resik.
Kowe jedoran ra keduman. Suk ae dibaleni, ya!” Semua tampak gembira hanyut tenggelam
dalam kegemparan yang baru berlangsung. Tak ada perkelahian, tak terjadi kecelakaan. Dalam PGK II juga yang pertama, aspirasi apa pun tak diperoleh!

1998
Sobontoro yang berada dalam Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, merupakan
salah satu desa di antara 13 desa sekecamatan (seluruhnya 17 desa) yang diwarnai aksi unjuk rasa.
Sebagian besar penduduk desa ini menentang kebijakan kades terkait tukar guling tanah kas desa.
Tanah berupa areal persawahan produktif itu sedang diproses untuk dijadikan perumahan
mengabaikan aspirasi, partisipasi masyarakat – seperti yang ditunjukkan dalam P3MD,
Mendagri (1996) – pegangan LKMD era itu. PGK III – Agustus 1988, tidak digelar.
Warga Jedor Karyo dan mayoritas warga Karanggudhe bergabung dengan kawan-kawan
sedesa yang menuntut kembali keberadaan tanah yang akan ditukar pada beberapa tempat
jauh di luar desa, dan tidak jelas utamanya bagi kepentingan siapa. Usai unjuk rasa yang
berlangsung hampir 3 bulan lebih, Kades Sobontoro dinonaktifkan SK Bupati Tulungagung
dan tanah kas desa tidak jadi ditukar guling hingga kini.

Menggunakan `patok waktu` tahun 1984 direntang ke belakang dan ke depan hingga tahun 1998,
kehidupan warga Jedor Karyo berada dalam dua lingkungan. Pertama, lingkungan kehidupan
medan berawa. Kedua, lingkungan kehidupan pascarawa. Yang kedua disertai aktivitas berikut ini.

1. Mendirikan Paguyuban Seni Jedor Karyo Wantah (1994);
2. Mementaskan BM dan OB di TBS, Jateng (1995);
3. Menggelar PGK I (1996);
4. Dua warga Jedor Karyo mengikuti Temu Tani di sebuah desa pertengahan

Purwodadi – Kudus,
Jateng, tempat petani Komunitas Sikep yang bertani tanpa pupuk pabrik (1996);
5. Menggelar PGK II (1997);
6. Dua warga Jedor Karyo mengikuti Temu Karya Petani, LSM dan Pusat Kajian

PHT Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, IPB (1997; dan
7. Pentasan di Gedung Dekopinda Tulungagung atas undangan para mahasiswa

STAIN
Tulungagung yang tergabung dalam PMII Cabang Tulungagung

(liputan pentasan dapat dibaca dalam Surya Minggu, 24 Agustus 1997).

Kedua lingkungan yang dialami adalah teks. Sedangkan aktivitas-aktivitas penyerta

(sekurang-kurangnya 1 – 7 di atas) adalah konteks kehidupan pascarawa.
Teks berpadu dengan konteks lokal baik itu konteks kehidupan semasa medan berawa maupun pascarawa, itulah `wacana`. Sebuah wacana kehidupan
yang darinya dapat menjelaskan mengapa warga Jedor Karyo – yang berasal dari kalangan tukang becak, tukang-kuli bangunan, pedagang kecil (pracangan), buruh tani, dan buruh serabutan, mereaksi kebijakan tukar guling tanah kas desa serta berharap akan berdirinya

Pasar Krempyeng di lokasi bekas blumbangan. Reaksi maupun harapan itu tak lain sebagai tantangan yang menghadang atas lingkungan hidup Karanggudhe,
lingkungan dekat mereka tinggal.

Meski wacana itu mengabaikan konteks global semisal kondisi ekonomi, sosial politik pada masa-masa itu, setidaknya wacana kehidupan tadi merupakan kristalisasi kehidupan warga Jedor Karyo yang kemudian teraktualisasi sebagai upaya menangani lingkungan hidup di Karanggudhe.

Warga Jedor Karyo tak akan pernah mengatakan wacana apa pun. Mereka tak akan pernah
berkata kapitalisme liberal, dehumanisasi terkait dengan eksploitasi lingkungan hidup Karanggudhe, misalnya. Predikat World Music yang pernah dikenakan pada musik tradisi `jedor pakem`, diterima dengan terkekeh-kekeh sebagai wul (urunan sukarela) musik. Meskipun demikian, warga jedor dapat merasai fenomena, “Nyambut gawe saya angel.” Dan merespon, “Aja sebathok ngorok. Alame wis owah gingsir!” Atau dengan, “Matiya ae!” Lalu blumbangan - satu monumen fisik kehidupan medan berawa, masih menganga.
Kedalaman mulutnya disumpali belukar perdu, sampah, bau dan lalat. Yo, kerja bakti!

Agustus 1999
E, Sapa Ngerti
(ESN) dipentaskan. PGK atas permintaan masyarakat, digelar lagi bersamaan dengan pementasan ESN. Lewat ESN dengan bahasa lugas dan bersahaja, diungkap pentingnya Pasar
Krempyeng bagi para pedagang kecil Karanggudhe. Republika Senin, 30 Agustus 1999 dengan
tajuk Ketika Seniman Jedor Berharap Pasar, memunculkan tulisan antara lain,
“Pemda belum dengar,” katanya. Mungkin Pemda budeg (tuli – red),” kata penonton lainnya.

Dampak pementasan: seorang warga jedor didatangi aparat
Kecamatan Boyolangu bersama PJS Kades Sobontoro (Carik Desa). Aparat tadi meminta
naskah ESN yang memang tidak dibuat kecuali sinopsis yang dapat ditunjukkan.
Dalam pementasan para pemain ESN maupun penonton, memang tak pernah berteriak
seperti tulisan wartawan Republika terbitan tsb. di atas. Aparat kecamatan tadi, sama sekali
tidak mencoba menampung, lalu memberi harapan `akan ditangani` dan disalurkannya aspirasi
yang ada bila memang aspiratif. Mungkin, memang bukan untuk itu ia datang bertugas.

Masih dalam tahun 1999, warga Jedor Karyo melakukan field research sederhana bagi pengumpulan data. Penduduk seputar blumbangan dimintai pendapat, usul, saran bagi bahan penyusunan proposal.
Kepanitiaan pun dibentuk. Ketua RW 04, semua Ketua RT lingkup RW 04, tentara, mantan pegawai
agraria, pemborong bangunan, tukang kuli bangunan, warga Jedor Karyo, masuk dalam kepanitiaan
rencana pembangunan Pasar Krempyeng. Proposal yang sudah dibuat, dibahas berulang-ulang dalam kepanitiaan. Setelah disepakati bersama, proposal akan diajukan ke Bupati, Ketua DPRD, lewat Camat Boyolangu sepengetahuan PJS Kades Sobontoro.
*

Karanggudhe, 2000 – 2004:
Pasar Dibangun
Tahun 2001 kades hasil Pilkades Sobontoro dilantik. Proposal pun dibahas ulang bersama
kades terpilih. Melalui P2MPD, pihak Pemda pada tahun 2002 mulai menguruk blumbangan.
Di desa-desa lain wilayah Tulungagung juga sedang dibangun pasar-pasar desa. Pasar di lokasi bekas blumbangan selesai dibangun tahun 2003. Jumlah los pasar 3 unit, masing-masing membujur sejajar. Dengan bentuk srotong, beratap genting, entah melalui proposal warga atau tidak

Bias
… yang penting adalah partisipasi dalam perencanaan, yaitu memanfaatkan daya kreatif mayoritas masyarakat untuk mengembangkan lingkungan mereka sendiri, sejauh memungkinkan pada tempat-tempat yang telah mereka pilih. Itu berarti … Demikian bagian kecil yang mengawali proposal.
Bagi warga Jedor Karyo, melakukan penelitian lapangan meski sederhana, mengumpulkan data, melakukan koordinasi dengan individu lain maupun pihak perangkat desa, dalam konteks membuat perencanaan bersama dengan memanfaatkan daya kreatif mayoritas masyarakat sekitar, sungguh pekerjaan yang tidak ringan. Menghadapi pemenuhan kebutuhan seharian, sudah merupakan persoalan berat bagi mereka.

Bagi warga Jedor Karyo, utamanya tidak sekedar ikut merencanakan tetapi juga
melaksanakan pembangunan pasar. Dengan sepenuhnya berperan diri secara sukarela,
mereka akan berupaya terus-menerus hingga Pasar Krempyeng berfungsi bagi pedagang kecil
Karanggudhe dan sekitarnya. Yang demikian itu tidak terjadi.

Mungkin mereka cegeh. Sejak blumbangan diuruk, mereka sama sekali tidak dilibatkan. Bentuk bangunan pasar tidak sesuai dengan harapan mereka. Dalam proposal, bentuk

bangunan lebih sederhana sebab diperuntukkan bagi jenis Pasar Krempyeng yang dianggap
lebih cocok bagi pedagang kecil Karanggudhe dan sekitarnya sambil menunggu
perkembangan fungsi pasar secara lebih lanjut.

Bagi mereka, yang penting blumbangan diuruk dan dipondasi bentuk U

menghadap jalan di depannya.
Mereka tak mampu menanggung beban tanah uruk dan pembuatan pondasi.

Meski demikian, hingga beberapa bulan sejak bangunan proyek pasar jadi, mereka sukarela
mengumpulkan orang-orang yang bermaksud berjualan di pasar bekas blumbangan tadi.
Lewat musyawarah berulang-ulang termasuk bermusyawarah di lokasi `pasar baru`, los-los dibagi. Mereka juga berkeliling ledhang dengan menyewa Chevrolet agar masyarakat makin
mengetahui bila di bekas blumbangan – dulu bekas SD Sobontoro, telah ada yang berjualan.

Pasar telah dibangun 2 tahun yang lalu. Fungsi pasar belum juga optimal.

Bias makin tampak oleh adanya desas-desus jual beli lokasi. Warga Jedor Karyo
tidak mampu menangani apa pun.
Mereka hanya menyampaikan `berita` tadi kepada pihak perangkat desa dengan harapan segera ditangani.
(Sobontoro, 2005)

Tidak ada komentar: